Penyitaan berasal dari
terminologi beslag (Belanda),[1] dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah
bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya
ialah:
a.
Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke
dalam keadaan penjagaan [2]
(to take into custody the property of a defendant).
b.
Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.
c.
Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang
disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan
menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut.
d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.
Ada banyak jenis sita, namun secara umum
dikenal dua jenis:
Sita ini dilakukan
terhadap harta benda milik debitor. Kata conservatoir sendiri berasal
dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag
menyimpan hak seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu
barang tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang
tergugat.
Perihal sita conservatoir
beslag ini diatur dalam pasal 227 (1) HIR, intisari dari ketentuannya
adalah sebagai berikut :[3]
1) Harus ada sangkaaan yang beralasan, bahwa
tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan
menggelapkan atau melarikan barang-barangnya;
2) Barang yang disita itu merupakan barang
kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik penggugat;
3) Permohonan diajukan kepada ketua
Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan;
4) Permohonan harus diajukan dengan surat
tertulis;
5) Sita conservatori dapat dilakukan atau
diletakkan baik terhadap barang yang bergerak dan tidak bergerak.
Sehubungan dengan
ketentuan pasal 227 ayat (1) HIR, Mahkamah Agung dalam salah satu
putusannya menyatakan bahwa conservatoir
beslag yang diadakan bukan atas alasan-alasan yang disyaratkan dalam pasal
dimaksud adalah tidak dibenarkan.[4]
b.
Sita terhadap harta benda milik
penggugat sendiri
Berbeda dari conservatoir beslag,
dikenal juga sita terhadap harta benda penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam
kekuasaan orang lain (termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk
menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak
kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu sita revindicatoir (Pasal 226 HIR / 260 RBg) dan sita marital
(Pasal 823-823j Rv). Revindicatoir
berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir
mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang
miliknya).
1.
Untuk pemohon sita revindicatoir:
a. Pemilik
benda bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain;
b. Pemegang
hak reklame;
2. Untuk pemohon sita conservatoir adalah kreditor;
3. Untuk
pemohon sita marital adalah istri.
Di negara yang menganut tradisi common
law, sita jaminan (security for costs) lebih sering diminta
oleh tergugat. Artinya, jaminan berupa uang atau aset lain yang diserahkan oleh
pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti biaya yang diderita
oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak beralasan. Di Indonesia,
instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara.[5]
Sesuai dengan Pasal 226 HIR / 260 RBg, untuk
mengajukan permohonan sita revindicatoir,
pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan yang
beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang
yang bersangkutan selama proses persidangan.
Sedangkan pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR / 261 RBg, elemen dugaan
yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut.
Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak akan
diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak
diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan
sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir).
Sehingga dalam sita ini, tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran
dugaan tersebut.
Objek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sita revindicatoir, maka yang dapat disita
adalah benda bergerak yang merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame).
Pemohon sita revindicatoir tidak
dapat memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan
atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga
kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226
(2) HIR menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan
secara lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut.
Sedangkan pada sita conservatoir,
yang dapat menjadi obyek sita adalah:
1.
barang bergerak milik debitur
2.
barang tetap milik debitur, dan
3.
barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak
ketiga).
Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan
tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga
nilai sita seimbang dengan yang digugat. Penyitaan juga dilakukan terlebih dulu
atas benda-bergerak, dan baru diteruskan ke benda-benda tidak bergerak, jika
menurut perkiraan nilai benda-benda tersebut tidak akan mencukupi.
RV masih mengenal beberapa sita conservatoir
lainnya yaitu :
a. Sita conservatoir terhadap Kreditor
Ada kemungkinannya bahwa Debitor mempunyai piutang kepada Kreditor. Jadi
ada hubungan utang piutang timbal balik antara Kreditor dan Debitor. Dalam
hubungan hutang timbal balik antara Debitor dan Kreditor ini, dimana Kreditor
sekaligus juga Debitor dan Debitor sekaligus juga Kreditor, tidak jarang
terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompesasi, misalnya apabila tuntutan
piutang Kreditor sudah dapat ditagih dari Debitor, sedang piutang Debitor belum
dapat ditagih dari Kreditor atau apabila Kreditor mempunyai tagihan dalam
bentuk uang sedangkan Debitor tagihannya berupa barang. Dalam hal ini maka
Kreditor yang mengajukan gugatan dapat mengajukan permohonan sita conservatoir terhadap dirinya sendiri.
Pada hakikatnya sita conservatoir ini
tidak lain adalah sita conservatoir atas
barang-barang yang ada di tangan pihak ketiga, hanya dalam hal ini pihak ketiga
itu adalah Kreditor itu sendiri.
b. Sita gadai
Sita
gadai ini sebagai sita conservatoir
hanya dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang disebut dalam pasal 1139 sub 2
KUHPerdata dan dijalankan atas barang-barang yang disebut dalam pasal 1140
KUHPerdata.
c.
Sita conservatoir atas
barang-barang Debitor yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di
Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia
Rasio dari sita conservatoir ini
ialah untuk melindungi penduduk Indonesia terhadap orang-orang asing bukan
penduduk Indonesia, maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi
acara perdata di Pengadilan Negeri.
d. Sita conservatoir atas pesawat terbang
Pada asasnya semua barang bergerak maupun tetap milik Debitor menjadi
tanggungan untuk segala perikatan yang bersifat perorangan, dan semua hak-hak
atas harta kekayaan dapat diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan
demikian dapat disita. Akan tetapi tentang hal ini ada pengecualiannya. Ada
bagian-bagian dari harta kekayaaan yang tidak dapat disita dan ada yang
dibebaskan dari penyitaan. Yang tidak dapat disita terutama adalah hak-hak
perorangan. Hak untuk mendapat ganti kerugian dalam hubungan perburuhanpun
tidak boleh disita untuk menjalankan putusan hakim.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
berbunyi “ Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap :
b.
Uang atau surat berharga milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi
Pemerintah maupun pada pihak ketiga
c.
Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada Negara/Daerah
d.
Barang bergerak milik Negara/Daerah baik yang berada pada instansi
Pemerintah maupun pada pihak ketiga
e.
Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik Negara/Daerah yang
diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
[1] Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999),
hal. 49
[2] Merriam
Webster’s Dictionary of Law, Merriam
Webster Springfield, Massachusetts, 1996, hal. 451
[3] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek
, (Bandung :
CV.Mandar Maju, 2002), hal. 100
[4] Putusan
Mahkamah Agung Nomor 597/K/Sip/1983 tanggal 8 Mei 1984, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia 1984-I, hal. 165.
[5] Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta
: Liberty, 1998),
hal. 178
Tidak ada komentar:
Posting Komentar