Januari
1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu kudeta
merebak di tengah inflasi yang meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap
di pasaran. Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrian panjang
untuk menukarkan kupon pemerintah panjang dengan minyak tanah, minyak goreng, gula, beras,
tekstil, dan kebutuhan lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilainya.
Begitulah setidaknya gambaran ibukota di awal-awal tahun 1965 tersebut.
Keadaan ekonomi negara dan rakyat semakin buruk tiap tahunnya,
setidaknya sampai tahun 1968. Tahun yang membuat seluruh bangsa
terperangah, sampai pada perubahan sistem politik dan rezim yang
berkuasa. Mendung yang menandakan bahwa tahun itu adalah tahun yang
“terkutuk”, terkutuk karena tahun itulah terjadinya apa yang kita kenal
dengan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) yang mengakibatkan gugurnya enam perwira tinggi dan satu perwira pertama angkatan darat.
Peristiwa pemberontakan G30S/PKI memang akan selalu menjadi ingatan
bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya. Peristiwa mengerikan itu juga merenggut sekitar 500.000 – 1.000.000
jiwa manusia yang dibunuh secara keji untuk membayar peristiwa tersebut. Peristiwa tersebut akhirnya juga melengserkan Bung Karno dari tampuk
kekuasaanya.
Sampai sekarang pun sesungguhnya peristiwa G30S/PKI tersebut masih
menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Walaupun pemerintah Orde Baru dibawah Pimpinan Soeharto pada tahun 1996
telah menerbitkan secara resmi sebuah buku yang menjelaskan mengenai peristiwa tersebut. Tetapi hal itu tetap tidak cukup dipercaya oleh sebagian besar
kalangan, karena masih terdapat banyak kejanggalan. Sehingga banyak
buku-buku lain yang terbit yang menceritakan sisi lain dari peristiwa
tragis tersebut.
Oleh karena itu dalam tulisan ini akan disampaikan beberapa versi
yang menyangkut peristiwa G30S/PKI tersebut. Baik yang bersumber resmi
dari pemerintah, maupun dari keterangan saksi dan pelaku yang dituduh
terlibat dalam gerakan tersebut, juga dari tulisan reportase dari
beberapa wartawan yang berkompeten menjelaskan seputar kejadian tersebut.
Pada tahun 1994 Sekretariat Negara (Setneg) menetbitkan satu buku
yang mencerita-kan kronologi sampai pada penumpasan G30S/PKI secara
sistematis. Buku itu menjadi satu-satunya sumber sejarah resmi yang
diterbitkan negara menyangkut G30S, yang dikenal deng-an sebutan buku
putih. Buku yang konseptor dan editor utamanya adalah presiden yang
berkuasa saat itu Soeharto.
Awalnya menurut buku tersebut, dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD
(yang dianggap sebagai musuh oleh PKI), PKI melancarkan isu Dewan
Jenderal. Isu Dewan Jenderal diciptakan Biro Khusus PKI sebagai bahan
perang urat syaraf untuk membentuk citra buruk terhadap pimpinan AD di
mata masyarakat. Dikatakan bahwa “Dewan Jenderal” terdiri atas sejumlah
Jenderal TNI-AD, seperti Jend. A.H. Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen
S. Parman, dan lima jenderal lainnya yang dianggap anti PKI.
Pada sekitar awal September 1965 dilancarkan isu bahwa Dewan
Jenderal akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan
memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah yang didatangkan ke Jakarta
dalam rangka peringatan HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Isu ini
semakin dikuatkan oleh Dokumen Gilchrist, Gilchrist sendiri merupakan
Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang bertugas 1963 – 1966.
Dokumen itu sendiri di dalamnya terdapat tulisan our local army
friend, pada intinya memberikan kesan bahwa TNI-AD bekerjasama dengan
Inggris, yang pada waktu itu dikategorikan sebagai salah satu kekuatan
Nekolim. Oleh Dr.Soebandrio dokumen itu diberikan kepada Bung Karno
(BK), sehingga pada 27 Mei 1965 BK mengumpulkan seluruh panglima
angkatan di Istana Bogor utnuk tujuan klarifikasi. Klarifikasi terutama
ditujukan untuk Letjen Yani sebagai Men/Pangad, dan Letjen Yani
membantahnya.
Menurut buku putih tersebut sejak bulan Juli – September 1965,
pelatihan pasukan sukarelawan dilakukan secara intensif dan massif
dengan alasan untuk memperkuat pasukan Dwikora atas instruksi Men/Pangau
Omar Dani. Penyelenggaraan pelatihan tersebut dipusatkan di Lubang
Buaya, Pondok Gede, dengan pimpinan pelatihan yaitu Mayor Udara Sujono
sebagai komandan. Keterlibatan TNI-AU sangat besar dalam kegiatan ini,
karena peralatan pelatihanpun diusahakan dari gudang TNI-AU.
Selanjutnya pada akhir Agustus sampai dengan akhir September 1965,
Biro Khusus Central PKI secara maraton mengadakan pertemuan-pertemuan
yang kesimpulannya dilapor-kan kepada Ketua CC PKI D.N.Aidit, yang saat
itu juga menjabat Menteri Koordinator di dalam Kabinet Dwikora.
Pertemuan dan rapat-rapat tersebut membicarakan kesiapan gerakan
pemberontakan, terutama kesiapan secara militer.
Secara struktural sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI bahwa
pimpinan tertinggi gerakan di tingkat pusat berada di tangan D.N. Aidit,
karena memang selain di Jakarta gerakan yang sama dilakukan di beberapa
daerah di Indonesia. Sementara untuk komando di lapangan gerakan
tersebut dikomandani Letkol. Untung, Untung sendiri merupakan Dan Yon
Pengawal Presiden. Di lapangan gerakan tersebut terbagi dalam tiga
pasukan yaitu Pasukan Gatotkaca, Pasukan Pasopati, dan Pasukan
Bimasakti.
Pada tanggal 28 September 1965, Sjam selaku Kepala Biro Khusus
Central PKI mela-por kepada D.N. Aidit bahwa penentuan Hari-H dan Jam-J
tanggal 30 September pukul 04.00 dan disetujui. Sementara sasaran utama
gerakan yaitu Jend. A.H. Nasution, Letjen. Ahmad Yani, Mayjen Haryono
MT, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan
Brigjen Sutojo S.
Perintah untuk gerakan ini jelas yaitu menangkap perwira-perwira di
atas hidup atau mati. Di lapangan sesungguhnya gerakan ini telah gagal
dengan kurangnya koordinasi yang baik, koordinasi antar pasukan ataupun
koordinasi antara pasukan dan pimpinan. Walaupun secara umum sasaran
gerakan tercapai kecuali Jend. Nasution, tetapi itu telah dibayar oleh
nyawa putri Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu. Pierre
Tandean.
Diceriterakan betapa kejamnya aksi penculikan yang dilakukan oleh
gerakan ini. Be-rapa jenderal telah ditembak mati duluan di kediamannya
seperti yang dialami Letjen Yani, Mayjen Haryono, dan Brigjen Panjaitan.
Sementara yang lainnya disiksa habisa-habisan dahulu sebelum ditembak
jatuh ke sumur, mereka ini yaitu Mayjen Soeprapto, Mayjen Parman,
Brigjen Sutojo, dan Lettu Tandean. Seluruh korban penculikan di bawa ke
Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada pimpinan Pasukan
Gatotkaca Lettu. Dul Arief.
Pada paginya tersiarlah kabar bahwa pimpinan-pimpinan teras AD
diculik oleh suatu gerakan pemberontak. Gerakan yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang berusaha meng-kudeta Presiden Soekarno, gerakan
yang dicurigai dikendalikan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam
proses pencarian korban penculikan, pengendalian keamanan ibukota,
sampai pada proses penumpasan inilah terlihat jelas betapa besar jasa
Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad.
Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad mempunyai keyakinan bahwa
gerakan tersebut merupakan gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan
merebut kekuasaan dari Pemerintah Republik Indonesia yang sah. Yang
selanjutnya oleh Soeharto gerakan ini disebut sebagai Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pangkostrad berhasil
menguasai kembali alat-alat vital negara seperti Kantor RRI dan Telkom,
yang sempat dikuasai oleh G30S, pada tanggal 1 Oktober pukul 19.00.
Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan sementara AD
menggganti-kan Letjen Yani. Dengan kekuasaan AD yang ada di tangannya
Soeharto melakukan perlawa-nan langsung terhadap G30S sampaai keesokan
harinya. Sampai tanggal 2 Oktober pukul 14.00 pasukan pendukung G30S
menghentikan perlawanannya dan melarikan diri ke daerah Pondok Gede.
Dengan hancurnya kekuatan fisik G30S di ibukota, operasi selanjutnya
dilanjutkan untuk mencari para korban penculikan. Hingga akhirnya atas
perintah Pangkostrad di-lakukan penggalian atas timbunan tanah di atas
sumur tua, pada tanggal 3 Oktober pukl 17.00 yang dicurigai tempat
pembuangan mayat korban penculikan, dan benar.
Versi Wartawan
Di bagian ini akan diceriterakan peristiwa Gerakan 30
September/Partai Komunis In-donesia (G30S/PKI) oleh seorang wartawan
Kompas bernama Maruli Tobing (2001), yang dimuat dalam buku Dialog
Dengan Sejarah. Dalam tulisannya bahwa G30S bukanlah gerakan yang berada
di bawah kendali sebagai partai seperti yang dikatakan Soeharto.
Walaupun memang ada orang-orang PKI yang trebukti terlibat di dalamnya
secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Tobing G30S merupakan desainan Amerikan Serikat melalui
lembaga CIA- nya, dan PKI dijadikan kambing hitamnya. Ditambah dengan
konflik intern di dalam tubuh AD antara pihak yang anti-Soekarno seperti
Jend. Nasution dan Mayjen Soeharto, dengan yang pro Soekarno seperti
Letjen Yani. Walaupun memang ketiga-tiganya membenci kehadi-ran PKI di
kancah politik, tetapi untuk tingkat loyalitasnya terhadap BK tidak
sama.
Sebelum tahun 1965 sebenarnya CIA telah seringkali mencoba
melakukan kudeta ter-hadap BK dengan berbagai cara. Seperti memberikan
bantuan dana satu juta dollar AS untuk partai yang anti-PKI dan
anti Soekarno, yang ditransfer melalui Hong Kong untuk membia-yai
kampanye tahun 1995. Selain itu Peristiwa Cikini juga merupakan salah
satu upaya men-jatuhkan BK dengan cara pembunuhan, yang didalangi CIA.
Namun tetap tidak berhasil.
Dalam kasus G30S, Tobing menilai bahwa ada "main mata" antara TNI-AD
dan CIA, dengan beberapa bukti membenarkan itu. Satu di antara bukti itu
yaitu adanya satu telegram dari Kedubes AS di Jakarta yang masuk ke
Deplu AS di Washington tanggal 21 Januari 1965. Isinya informasi
pertemuan pejabat teras AD pada hari itu, dalam pertemuan itu salah satu
perwira tinggi AD yang hadir bahwa adanya rencana pengambil alihan
kekuasaan jika Bung Karno berhalangan.
Kapan rencana ini akan dijalankan, bergantung pada keadaan konflik
yang sedang di-bangun beberapa pecan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari
kemudian AD akan menyapu PKI. Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B.
Johnson Library dengan nomor control 16687 itu menyebut, beberapa
perwira tinggi lain yang hadir malah menghendaki agar rencana itu
dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan,
Dalam tulisannya Tobing lebih menekankan bahwa sesungguhnya
persamaan persepsi antara pimpinan teras AD mengenai PKI, akhirnya
berbenturan pada loyalitas tergadap Bung Karno. Yang oleh sebagian
jenderal BK terlalu lunak dan selalu melindungi PKI yang dapat merusaka
persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga jenderal-jenderal yang
anti Soekarno mendekati AS yang telah diketahui telah lama ingin
menggulingkan Soekarno dan PKI.
Versi Saksi dan Pelaku
Versi ini merupakan hasil wawancara dan intisari dari otobiografi
para saksi dan pelaku G30S, yang terangkum dalam buku yang berjudul
Saksi Dan Pelaku Gestapu (2005). Pada bagian ini para saksi dan pelaku
G30S yang pernah diadili di Mahmilub dan menekan di penjara selama
puluhan tahun, lebih menekankan pada pengaruh Soeharto.
Bahwa hampir se-luruh saksi dan pelaku menyatakan bahwa Pangkostrad
saat itu sesungguhnya sudah menge-tahui akan adanya gerakan
pemberontkan. Bahkan Pangkostrad Mayjen Soeharto disebut sebagai
konseptor gerakan tersebut. Beberapa saksi dan pelaku di dalam buku
tersebut yang dimuat petikan wawancara dan kutipan otobiografinya yaitu,
Mayjen Soeharto, Seka Bungkus, Letkol Heru Atmodjo, Kolonel Latief,
Laksdya Omar Dani, Mayjen Pranoto Reksosamodra, dan Jend. A.H.
Nasution.
Seperti yang diceriterakan Kolonel Latief yang saat itu menjabat
sebagai Komandan Brigif I Jayasakti, dan di Buku Putih disebutkan bahwa
ia merupakan wakil dari pimpinan ge-rakan Letkol. Untung. Pada
persidangan di Mahmilub ia divonis penjara seumur hidup, setelah
pledoinya ditolak. Setelah runtuhnya Orde Baru, Kol. Latief akhirnya
dibebaskan bulan April 1999 dari Rutan Salemba selama 33 tahun 5 bulan
dipenjara.
Bahwa dua malam berturut-turut sebelum meletusnya G30S, ia telah
melapor ke Pangkostrad Mayjen Soeharto, tentang adanya rencana
menghadapkan tujuh jenderal kepada presiden.
Pada 28 September malam ia mendatangi Pak Harto di rumahnya, untuk
menanyakan isu Dewan Jenderal. Dan ternyata Pak Harto telah
mengetahuinya melalui anak buahnya dari Yogya, Bagio. Menurut informasi
yang didapatnya bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap BK.
Sementara tanggal 29 malamnya melapor ke Soeharto di RSPAD Gatot
Subroto, bahwa besok aka nada tujuh orang jenderal AD yang akan
dihadapkan ke presiden. Dan reaksinya Pak Harto hanya manggut-manggut,
dan selesai.
Ini setidaknya menunjukkan bahwa sebenarnya Mayjen Soeharto sudah
mengetahui bahwa aka nada rencana kudeta terhadap Bung Karno oleh Dewan
Jenderal. Dan rencana menghadapkan tujuh orang jenderal AD ke BK.
Tetapi Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad tidak mengambil tindakan
apapun.
Mana Yang Benar?
Dari ketiga versi di atas penulis merasa versi wartawan lah yang
paling dapat diperca-ya. Karena memang tidak mungkin semudah yang
dibayangkan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan,
sementara masih banyak rakyat yang mencintainya. Apalagi di dalam tubuh
AD sendiri terdapat dua faksi yang anti dan pro terhadap Soekarno,
sehingga cukup sulit jika AD melaksanakan sendirian kudeta tersebut.
Akhirnya faksi yang anti Soekarno mau tidak mau harus mencari
bantuan asing yang dirasa berkepentingan yang sama dengan AD, dan itu
tidak lain Amerika Serikat. Dan kebetulan karena ada gerakan
pemberontak dari orang-orang yang mencintai Soekarno dengan sepenuh hati
yang berusaha “membuang” jenderal-jenderal AD yang tidak loyal.
Ditambah mereka berasal dan dibawah kendali D.N. Aidit yang notabene
merupakan Ketua Politbiro CC PKI, maka jadilah PKI sebagai kambing
hitamnya.
Referensi
-Lesmana, Surya, 2005, Saksi Dan Pelaku Gestapu,
-Media Pressindo: Yogyakarta. Oetama, Jakob, et al, 2001,
-Dialog Dengan Sejarah Soekarno Seratus Tahun,
-Kompas Media Nusantara: Jakarta. 1994,
-Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,
-Sekretariat Negara RI: Jakarta. Ekamara Ananami Putra
Sumber: Fakta dan Misteri Dunia, Wikipedia Indonesia, dan Kompassiana.
Sumber: Fakta dan Misteri Dunia, Wikipedia Indonesia, dan Kompassiana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar