Selasa, 03 September 2013

PENINJAUAN KEMBALI (PK) DALAM HUKUM PIDANA






Peninjauan Kembali (PK) atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar biasa dalam hukum pidana, untuk melakukan peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada intinya menyebutkan bahwa PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. PK dapat dimintakan/diajukan kepada Mahkamah Agung (MA). PK baru bisa dimintakan/diajukan ke MA setelah semua upaya hukum biasa berupa banding dan kasasi telah tertutup untuk dilakukan. PK dapat dimintakan/diajukan terhadap semua putusan pengadilan, baik Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) maupun Mahkamah Agung (MA), dengan persyaratan bahwa putusan instansi pengadilan sebagaimana tersebut di atas telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan PN dapat dimintakan/diajukan PK dengan syarat bahwa putusan PN tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan banding ke PT. Demikian pula putusan PT yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan kasasi ke MA. Demikian pula terhadap putusan MA dapat diajukan PK, setelah putusan MA tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Mempunyai kekuatan hukum tetap berarti telah dibacakan putusan pengadilan (vonis) terhadap terdakwa didepan sidang terbuka untuk umum, dan ditandai pula dengan telah diberitahukannya secara sah putusan pengadilan tersebut kepada terdakwa, maka sejak saat itu terbuka jalan untuk meminta/mengajukan PK, baik terhadap putusan PN, PT maupun MA. PK tidak dapat dimintakan/diajukan apabila putusan instansi pengadilan tersebut menyatakan terdakwa bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Dasar pertimbangan bahwa putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dimintakan/diajukan PK adalah bahwa upaya hukum luar biasa PK adalah semata-mata untuk kepentingan terpidana untuk membela hak-haknya agar terpidana tersebut terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya.
Alasan atau syarat dapat diajukannya suatu PK adalah adanya keadaan/bukti baru (novum). Keadaan/bukti baru yang menjadi landasan dimintakan/diajukannya PK tersebut adalah yang mempunyai sifat dan kualitas "menimbulkan dugaan kuat" :
  1. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
  2. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
  3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Yang berhak mengajukan PK disebutkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu terpidana atau ahli warisnya. Selain dari terpidana dan ahli warisnya, maka permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima. Mengenai kedudukan prioritas (yang lebih diutamakan) dalam meminta/mengajukan PK antara terpidana dengan ahli warisnya, undang-undang tidak menyebutkan siapa yang lebih diutamakan antara terpidana dengan ahli warisnya dalam meminta/mengajukan PK. Walaupun terpidana masih hidup dan sedang menjalani hukuman, ahli waris dapat langsung meminta/mengajukan PK. Hak ahli waris untuk meminta/mengajukan PK bukan merupakan "hak substitusi" yang hanya dapat diperoleh setelah terpidana meninggal dunia. Hak ahli waris dalam meminta/mengajukan PK adalah"hak orisinal" yang diberikan undang-undang kepada ahli waris terpidana demi untuk membela kepentingan/hak-hak terpidana sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun apabila yang meminta/mengajukan PK tersebut adalah terpidana sendiri, kemudian sebelum PK tersebut diputus oleh MA, terpidana meninggal dunia , maka menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP, hak untuk meneruskan permintaan/pengajuan PK tersebut  "dilanjutkan" oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti tersebut inilah kedudukan ahli waris menduduki kedudukan "hak substitusi" dari terpidana. Pasal 263 ayat (2) KUHAP ini bukan hanya berlaku pada tahap permintaan/permohonan PK berada di MA, tetapi berlaku juga pada permintaan/permohonan PK yang masih berada pada tahap pemeriksaan sidang PN, atau pada tahap permintaan/permohonan PK belum dikirimkan PN kepada MA. Bahwa proses hukum permintaan/permohonan PK ini dapat dikuasakan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada kuasa hukumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar