Menguatnya aksi-aksi intoleransi, baik yang bergerilya
di level politik maupun yang memprovokasi massa rakyat di akar rumput,
menunjukkan adanya ancaman serius bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Segelintir orang yang mengaku warga Lenteng Agung
menggelar aksi demonstrasi di kantor Kelurahan Lenteng Agung. Mereka
menuntut pemberhentian Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli,
karena perbedaan agama.
Beruntunglah sang Lurah tetap bergeming. Pemerintah DKI Jakarta juga
tidak menggubris aksi itu. Gubernur DKI Jakarta menegaskan, tuntutan
demonstran dinilai tidak dapat dibenarkan. “Tidak. Kalau ada pergantian,
sebabnya masalah prestasi dan kemampuan, bukan karena beda keyakinan,”
tegas Jokowi.
Sayangnya, sikap pemerintah pusat justru mengecewakan. Pemerintah
pusat, yang diwakili oleh Mendagri Gamawan Fauzi, menyarankan ke Jokowi
agar memindahkan Susan ke daerah yang non-mulism juga. Artinya,
pemerintah pusat menyerah alias mentolerir tuntutan kelompok intoleran
tersebut.
Di dalam negara demokrasi, aksi protes secara massal di depan umum
memang dijamin oleh konstitusi. Namun, aspirasi yang dibawa oleh warga
tersebut tidak bisa dibenarkan: pertama, aspirasi itu melabrak Pancasila dan UUD 1945; kedua, aspirasi itu mengangkangi semangat demokrasi; ketiga, aspirasi itu mengancam eksistensi negara Republik Indonesia.
Aksi-aksi intoleransi memang makin marak. Wahid Institute mencatat,
pada tahun 2012 terjadi 198 kasus pelanggaran atas kebebasan beragama
yang dilakukan dengan bentuk-bentuk kekerasan, pemaksaan, dan
pelarangan. Sementara Setara Institute mengungkapkan, ada 103 kasus
pelanggaran kebebasan beragama dengan berbagai ancaman, perusakan,
kekerasan, bahkan penghilangan nyawa.
Bersamaan dengan itu, aksi petualangan kelompok yang menghendaki
pengubahan dasar negara, yakni dari Pancasila menjadi dasar agama, juga
makin terang-terangan. Bukan lagi gerakan laten. Sebut saja: kelompok
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang berencana menggugat Pancasila
sebagai Dasar Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada pula kelompok
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang terang-terangan menolak sistem
demokrasi, nasionalisme, Pancasila, dan NKRI.
Tak ada yang bisa menyangkal, bahwa bangsa Indonesia ini sangat
majemuk; beraneka ragam suku, agama, dan adat-istiadat. Di Indonesia ini
ada sekitar 300-an etnik atau suku bangsa. Malahan, survei BPS tahun
2010 menyebutkan bahwa Indonesia ini dihuni oleh 1.128 suku bangsa.
Selain itu, jumlah bahasa dan sub-bahasa di seluruh Indonesia mencapai
546 bahasa. Agama penduduknya juga beragam. Selain lima ajaran agama
besar yang dianut bangsa Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan,
Kristen Katolik, Hindu dan Budha, terdapat juga ratusan aliran
kepercayaan warisan leluhur Bangsa Indonesia.
Karena itu, ketika memikirkan bentuk negara yang pas dengan realitas
yang majemuk itu, para pendiri bangsa kita kemudian menyodorkan konsep negara semua untuk semua,
yang menampung rakyat Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, dan
adat-istiadat itu. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu golongan,
tapi ‘semua buat semua’. Prinsip yang mengatur pergaulan dari negara
semua buat semua ini adalah Bhineka Tunggal Ika.
Republik ini hadir karena disemai oleh perasaan kebangsaan, bukan
sentimen keagamaan. Dasar yang membentuk perasaan kebangsaan itu bukan
hanya kesamaan bahasa, teritori, kehidupan ekonomi, dan kesepakatan
psikologis, bukan pula sekedar persamaan kehendak untuk bersatu (Ernest
Renan) dan persamaan watak atau karakater karena akumulasi persatuan
pengalaman dan kesamaan nasib (Otto Bauer), tetapi juga karena persaman
cita-cita: memujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Pendek kata, Republik ini dibangun karena sebuah janji, yakni janji
kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Itulah
yang membuat para pendiri bangsa, tanpa memandang asal usul agama, suku,
dan ras-nya, berjuang untuk mendirikan Republik yang dicita-citakan
itu. Itupula yang membuat rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke,
berjuang mati-matian untuk mendirikan negara Republik Indonesia.
Namun, imajinasi Republik itu agak meredup lantaran kegagalan
pemerintah menciptakan keadilan ekonomi dan memakmurkan bagi seluruh
rakyat. Di satu sisi, segelintir elit hidup dengan kemewahan yang luar
biasa, sementara di sisi lain, mayoritas rakyat hidup dalam kesusahan.
Sudah begitu, korupsi menjadi jalan pintas para elit birokrat untuk
memperkaya diri. Ini yang membuat banyak orang kecewa dengan keadaan.
Pada saat itulah kelompok ultra-kanan, baik yang ekstrim nasionalis
maupun ekstrim fundamentalis, berupaya mengartikulasikan ketidakpuasan
itu dengan cara tidak sehat; kebencian terhadap pengikut agama
minoritas, kebencian terhadap imigran atau pendatang, dan kebencian
terhadap etnis dan ras tertentu.
Dalam konteks itu, kita menjadi faham, bahwa aksi-aksi intoleran itu
justru mengalihkan perhatian rakyat dari akar persoalan yang sebenarnya.
Berbagai penyimpangan terhadap cita-cita Republik, seperti
ketidakadilan ekonomi, kemiskinan, korupsi, dan lain-lain, adalah produk
struktur ekonomi-politik. Hal tersebut tidak terlepas dari sistem
ekonomi kapitalistik, yang menjadi model pembangunan ekonomi sejak rezim
Orde Baru hingga sekarang ini, yang sebetulnya bertolak-belakang dengan
cita-cita pendiri bangsa. Namun, kelompok intoleran justru ingin
menututupi akar penyebab masalah itu dengan mengalihkannya menjadi isu
agama dan rasial.
Dengan demikian, aksi-aksi intoleran yang tumbuh subur akhir-akhir
ini tidak lepas dari kepentingan kelompok ekonomi atau kelompok politik
tertentu yang hendak mempertahankan kekuasaan. Dengan kesimpulan ini,
kita menjadi sadar, mengapa rezim yang berkuasa saat ini terkesan
melakukan pembiaran terhadap praktek-praktek intoleransi tersebut.
Sekalipun aksi-aksi intoleransi itu melabrak Pancasila, UUD 1945, dan
eksistensi NKRI.
Kasus penolakan terhadap Lurah Lenteng Agung merupakan alarm pertanda bahaya
bagi eksistensi Republik. Jangan sampai virus pemecah-belah bangsa itu
menyebar ke seantero negeri. Realitas Republik yang majemuk, yang jika
tidak diasah perasaan senasib, sebangsa, dan kesamaan cita-citanya,
justru menyediakan sedemikian banyak motif untuk perpecahan dan balkanisasi.
Ingat, pihak yang paling diuntungkan dari perpecahan bangsa kita ini
adalah kaum neokolonialis dan imperialis, yang sudah tidak sabar
mencengkeramkan kuku kekuasaan ekonomi-politiknya di setiap jengkal
tanah-air kita Republik Indonesia.
Sumber: Berdikari Online
Sumber: Berdikari Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar