Minggu, 22 September 2013

STERILISASI FIT AND PROPER TEST PEJABAT PUBLIK DI DPR-RI

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia di era reformasi ini memperoleh kewenangan hebat yang tidak dimiliki di era Orde Baru. Kewenangan hebat itu ialah menguji kepatutan dan kelayakan calon pejabat publik.

Dengan kewenangan itu, dalam tataran praktis, diharapkan dihasilkan pejabat publik yang kompeten dan kredibel. Lebih dari itu, dalam tataran konstitusional, kewenangan ini merupakan implementasi dari mekanisme check and balances serta representasi dari kedaulatan rakyat.

Celakanya,  proses fit and proper test di DPR ternyata tak steril dari praktik percaloan. Bagaimana mungkin uji kepatutan dan kelayakan bisa menghasilkan pejabat publik yang kredibel dan kompeten bila ia direcoki oleh praktik percaloan?

Terungkapnya praktik percaloan itu berawal dari proses uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung di Komisi III DPR RI, pekan lalu. Ketika itu, calon hakim agung Sudrajat Dimyati kedapatan menyerahkan sesuatu mirip amplop kepada anggota Komisi III dari Fraksi Kebangkitan Bangsa Bahruddin di toilet DPR.

Keduanya membantah pertemuan singkat di toilet itu membicarakan deal-deal terkait uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung. Namun, dari peristiwa itu terungkap adanya praktik percaloan di Komisi III.

Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Ansyori Saleh, misalnya,  mengungkap adanya upaya menyuap tujuh anggota komisioner KY masing-masing Rp200 juta pada uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung pada 2012. Tujuannya ialah agar KY dalam seleksi calon hakim agung meloloskan kandidat tertentu. Anggota KY Eman Suparman melontarkan pernyataan senada.

Memang praktik percaloan yang diungkap KY terjadi pada seleksi hakim agung 2012. Namun, tidak tertutup kemungkinan praktik korup itu terulang di pemilihan hakim agung tahun ini. Oleh karena itu, pihak berwenang harus mengklarifikasinya.

Praktik korupsi dalam proses fit and proper test sesungguhnya bukan kali ini saja terjadi. Publik tentu masih ingat kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Gultom. Dalam kasus ini, sejumlah anggota DPR dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk Miranda Gultom sendiri. 

Yang lebih celaka, praktik korupsi dalam proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR menunjukkan kegagalan lembaga legislatif mengemban kedaulatan rakyat. Itulah sebabnya muncul suara-suara agar kewenangan menyeleksi atau memilih pejabat publik dikembalikan kepada presiden.

Kita tidak sependapat dengan suara-suara seperti itu. Jika kewenangan menyeleksi pejabat publik di lembaga negara independen atau lembaga yang setara dengan presiden dikembalikan kepada presiden, itu merupakan langkah mundur dalam berdemokrasi.

Bukankah dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat dan DPR sejatinya merupakan representasi rakyat?

Oleh karena itu, kita mendesak DPR mengubah mekanisme internal seleksi dan pemilihan pejabat publik. Dalam hal hakim agung, misalnya, pakar hukum tata negara merekomendasi seleksi dilakukan KY dan DPR tinggal menyetujui atau menolaknya.

Dengan begitu, bukan cuma menghasilkan pejabat publik yang berintegritas dan kompeten, DPR juga dapat menjaga sepenuh hati kedaulatan rakyat.


Sumber: Editorial Media Indonesia

1 komentar: