Rabu, 13 November 2013

Opini Lentera: P A H LA W A N

Setiap sepuluh November kita merayakan Hari Pahlawan sebagai peringatan akan jasa-jasa mereka berkorban demi bangsa dan negara. Kata Pahlawan selalu identik dengan perjuangan mempertaruhkan jiwa dan raga. 

Apakah kriteria seorang ”pahlawan” hanya mereka yang gugur di medan perang? Kepahlawanan tidak identik hanya memegang senjata pahlawan orang yang memperjuangkan nilai-nilai dasar kehidupan. Mereka dengan sadar dan tulus membaktikan dirinya bagi kesejahteraan. Pahlawan mempunyai makna dalam karena pribadi rela memberikan segala bagi bangsanya. Ada banyak pahlawan bangsa yang rela berkorban demi sebuah citacita bersama. 

Mereka ini kerap terlupakan karena pahlawan hanya dilihat semata-mata perjuangan fisik belaka. Terlalu sempit menghargai pahlawan hanya sebagai sosok fisiknya. Kepahlawanan adalah semangat untuk berdikari, semangat untuk membela kaum tertindas. Dalam pengertian fisik, sosok pahlawan mungkin akan terus kita ingat. Namun, buat apa mengingat dan memperingatinya setiap tahun jika tak ada nilai yang mengejawantah dalam segenap perilaku kita. Bahkan, jika setiap hari kita justru makin menggerusnya dalam lumpur kemunafikan dan kebohongan. 

Kata pahlawan selama ini identik dengan romantisme perjuangan dengan senjata dan darah. Kepahlawanan lebih dilihat dalam heroisme menegakkan panji-panji kebesaran. Dikembangkan mitos bahwa dunia kepahlawanan adalah dunia orang yang gagah berani semata. Itu tidak salah. Tetapi jika hanya itu yang diangkat, justru akan menenggelamkan nilainilainya. Kita disuguhi cerita yang membuat kepahlawanan mengalami reduksi makna. 

Kepahlawanan lalu berpengertian sangat sempit dan agaknya kurang tepat karena mitos tersebut hanya melahirkan ”budaya otot” yang dominan dalam ruang publik. Ini membuat kita kurang menghargai akal sehat dalam segala hal. Kita merdeka bukan sekadar karena perang secara fisik melainkan karena juga jasa orangorang cerdas, intelektual, budayawan, sastrawan, dan seluruh komponen rakyat. 

Dengan diplomasi tingkat tinggi mereka mampu meyakinkan dunia internasional bahwa penjajahan bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan. Pelan tapi pasti, republik ini kurang menghargai orang cerdas dalam tata kelola publik. Mereka tiba-tiba hilang dalam pentas dikalahkan mitos hero, yakni mereka yang katanya berani menyerahkan jiwa raganya. Seolah-olah mereka inilah pewaris negeri ini dengan jasa begitu besar. 

Memang andil mereka harus diakui, namun jangan membuat kita terjebak pada mitos kepahlawanan sempit seperti ini. Mitos inilah yang membuat kita miskin gagasan dalam membangun bangsa yang inovatif dalam usaha mencari jalan keluar dari ketergantungan. Ketergantungan ini tercipta karena budaya akal sehat tidak menjadi pertimbangan dalam segala hal. 

Akibat pudarnya nilai-nilai kepahlawanan ini membuat kita makin sulit mengangkat diri menjadi bangsa yang dihargai di mata internasional. Kita takluk di bawah perintah dan kemauan asing. Nilai-nilai kepahlawanan yang melekat tak cukup digdaya untuk membuat kita keluar dari lingkaran ketergantungan tersebut. Kemajemukan dan kekayaan alam yang seharusnya dijadikan modal untuk menyejahterakan rakyat, realitasnya sebagian besar telah kita gadaikan dan manfaatkan bukan untuk kepentingan kita sendiri. 

Ini terjadi akibat banyak orang berpikir atas nama dan untuk dirinya sendiri. Bukan untuk dan atas nama bangsanya. Budaya yang kita bangun tidak mampu melahirkan gugus insting yang mampu mempengaruhi cara berpikir, berperilaku, berkomunikasi dalam cara yang cerdas, dan menghargai nilai-nilai keanekaragaman budaya. Hal ini disebabkan ketiadaan arah dalam membangun kebudayaan yang melahirkan sistem nilai dan akhirnya mempengaruhi sistem kerja. 

Perilaku”kepahlawanan” yang mementingkan otot justru semakin marak di Tanah Air. Para pahlawan kesiangan berteriakteriak moral di saat yang sama sedang menginjak nilai-nilai kemanusiaan. Mereka haus disebut sebagai pahlawan, walaupun laku kehidupannya sama sekali tak mencerminkan seorang pahlawan. Ya, inilah, kita hidup di bangsa yang elite-elitenya sering haus pujian. 

Pola ”pahlawan” palsu yang hanya mengandalkan kekuatan otot inilah yang sering kali membuat bangsa ini makin bertambah banyak masalahnya. Masalah kita bukan hanya bagaimana berhadapan secara elegan dengan bangsa lain, melainkan juga dengan sekelompok anak negeri yang lebih mementingkan kelompoknya daripada bangsanya. 

Kini kita membutuhkan makna kepahlawanan yang lebih luas dan dalam. Pahlawan bukan sekadar mitos ”bambu runcing”, melainkan mereka yang terus-menerus menemukan kreativitas dalam memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. Pahlawan adalah mereka yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi jutaan orang. Pahlawan adalah pejabat publik yang bisa memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang murah. 

Mereka-mereka inilah yang seharusnya kita sebut pahlawan. Mereka adalah sosok yang bermanfaat bagi warga bangsanya. Mereka inilah yang layak disebut pejuang sejati karena adanya mereka untuk memperjuangkan kesejahteraan, kemanusiaan, dan keadilan. Dekonstruksi kepahlawanan dengan demikian perlu dipikirkan kembali untuk menemukan makna terdalam apa yang dimaksudkan dengan pahlawan itu. Tak cukup mengheningkan cipta? Mungkin ”cukup”. 

Tetapi arti mengheningkan cipta bukan bagaimana kepala tertunduk belaka. Artinya, meneladani sikap baik pahlawan, mengabdi kepada kemanusiaan, membela yang lemah dan tertindas, dan membela hak yang dirampas. Tentu tak cukup menghormati mereka hanya dengan mengheningkan cipta berulang-ulang tanpa mengaktualkan sikap dan laku hidup. Sebuah bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya.

”Kita mempercayainya. Namun, makna ungkapan ini bagi kita sering terlalu datar dan sering diartikan bahwa penghormatan adalah rutinitas formal saja. Apa yang ada di pikiran Bung Tomo kala itu adalah untuk menegakkan harkat dan martabat kebangsaan dengan mengorbankan seluruh jiwa raga. Bung Tomo tak hanya membela Surabaya. Ia membela kehormatan bangsa yang dipermainkan. 

Harga diri dan martabat kebangsaan sering tergadaikan oleh kepentingan pragmatis individual. Sudah jarang laku kepahlawanan dan heroisme yang termanifestasikan untuk membela kebangsaan. Kebangsaan yang bermartabat, yang diperoleh dengan pengorbanan luar biasa, kini mulai digerogoti oleh sikap dan perilaku yang sering bertentangan antara kata dan perbuatan.

Kamis, 07 November 2013

Opini Lentera: HAKIM, HUKUM DAN KEADILAN

Hakim adalah perwakilan Tuhan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi ini. Begitulah yang sering kita dengar tentang profesi paling berkuasa dalam memutuskan suatu perkara di ruang sidang pengadilan yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Kedudukan  hakim yang tinggi lagi mulia dalam suatu negara hukum, menimbulkan konsekuensi yuridis yang tinggi pula di dalam masyarakat yaitu selalu berperilaku jujur, arif, bijak dan adil serta mampu menemukan hukum yang lurus guna mengisi kekosongan undang-undang dalam memutus suatu perkara yang dajukan ke hadapannya. Namun yang terjadi pada kenyataannya di negeri ini, berulang kali kita saksikan di sosial media, baik cetak maupun elektronik, hakim sebagai sebuah profesi maupun jabatan mulia, integeritasnya mulai dipertanyakan dan dinilai sudah pada taraf mengkhawatirkan. Susul-menyusul ditangkapnya hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi adalah faktanya. Terakhir, yang paling menohok adalah penangkapan Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi, oleh KPK.
Padahal, putusan hakim adalah putusan yang dalam pertimbangannya dipercaya dalam keadilan Tuhan. Maka, ketika putusan dipengaruhi oleh iming-iming materi, sesungguhnya ia telah melecehkan Tuhan.
Semboyan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam setiap putusan secara filosofis dimaknai bahwa pertanggungjawaban otentik hakim dalam bekerja adalah kepada Tuhan.
Noktah hitam dari hakim yang tertangkap KPK bisa merusak citra hakim secara keseluruhan. Itulah risiko menyandang profesi mulia (officium nobile). Bukan oknumnya yang distigmakan masyarakat, tetapi jabatannya. Karena itu, hakim-hakim yang bersih perlu merapatkan barisan untuk membuat putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
Upaya mewujudkan peradilan agung dan berwibawa sejatinya ditopang oleh profesionalitas hakim.
Kualitas putusan hakim memiliki makna penting karena selain mencerminkan kepiawaian dan kemampuan hakim dalam memutus perkara, hal itu juga menyangkut hak masyarakat luas dalam mengakses keadilan di bidang hukum.
Realitasnya, hukum masih menunjukkan kinerja tebang pilih. Hukum yang kotor tidak pernah berkompromi dengan orang lemah. Hukum hanya untuk pemilik modal dan kekuasaan sehingga garang kepada rakyat kecil, tetapi tumpul terhadap kasus korupsi para elite.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melukiskan, kondisi pemberantasan korupsi memasuki siaga I karena kerugian yang ditanggung negara tak sebanding dengan vonis yang dijatuhkan terhadap koruptor.
Menurut ICW, dalam 3 tahun 6 bulan, pengadilan tipikor menjatuhkan vonis bebas kepada 143 terdakwa, vonis 1 tahun kepada 185 terdakwa, dan vonis 1-2 tahun penjara kepada 167 terdakwa kasus korupsi. Padahal, dalam kurun yang sama, kerugian negara Rp 6,4 triliun.
Syukurlah, tatkala pengadilan tipikor daerah mendapat sorotan terkait vonis yang tidak menimbulkan dampak penjeraan, Mahkamah Agung (MA) menunjukkan komitmennya.
Melalui majelis kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar, putusan kasasi memperberat hukuman Tommy dan Zen Umar, pegawai Kantor Pajak Sidoarjo, Jawa Timur. Tommy yang sebelumnya divonis 3 tahun 6 bulan penjara pada tingkat banding diperberat menjadi 10 tahun penjara.
Sementara Zen Umar, Direktur Utama PT Terang Kita, yang divonis 5 tahun diperberat menjadi 15 tahun penjara.
Sungguh tercoreng wajah peradilan kita. Gaji hakim yang tinggi sebagai bentuk penghargaan negara terhadap beban dan tanggung jawabnya ternyata tidak ekuivalen dengan penurunan indeks kejahatan peradilan. Gaji hakim memang bukan solusi untuk melawan jejaring suap di pengadilan.
Sebab, sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim di Bawah MA, tingkat penghasilan hakim amat memadai dan sepadan dengan tanggung jawabnya.
Meski hingga kini beberapa hak yang dijanjikan negara, seperti tunjangan perumahan dan transportasi, belum ditunaikan, penghasilan terendah hakim sudah Rp 10 juta. Dengan demikian, hakim harus mampu membendung dorongan syahwat duniawi dan menjaga marwah hukum.
Merujuk pada jumlah hukuman yang dijatuhkan Badan Pengawasan MA sepanjang semester pertama 2013, jabatan hakim memang dominan mendapat sanksi ketimbang jabatan lain di lingkungan peradilan.
Dari total 93 hukuman, 70 hukuman untuk hakim. Hakim tunaintegritas semacam ini harus dipecat dari korps.
Posisi hakim harus memiliki legitimasi kuat di masyarakat. Semua tiang penyangga peradilan sepantasnya direbut dan diisi oleh para pendekar hukum yang berani menyatakan kebenaran sebagai yang benar dan kebatilan sebagai mungkar.
Untuk itu, rekrut sumber daya berintegritas tingi dengan mengutamakan rekam jejak, berwawasan luas di bidangnya, dan berkomitmen terhadap keilmuan lewat mekanisme terbuka, fair, dan netral.
Saat ini, jabatan hakim gampang diraih. Asalkan memiliki pengetahuan memadai, indeks prestasi akademik terpenuhi, menyodorkan surat keterangan berkelakuan baik dan mampu menjawab soal-soal yang diujikan, pasti lulus.
Namun, menjadi hakim dalam makna hakiki tidak gampang karena syaratnya memiliki keterpanggilan batin untuk berdedikasi di bidang hukum. Pembibitan nilai idealisme ini harus disemai sejak di perguruan tinggi.
Di samping itu, seorang hakim harus mampu menginternalisasikan sifat-sifat terpuji, seperti adil, bijaksana, arif, tanggung jawab, profesional, rendah hati, dan jujur.
Putusannya juga menjadi ukuran karena putusan adalah mahkota hakim. Kehormatan hakim terkait erat dengan produk putusannya serta argumentasi hukum yang melandasi pertimbangan.
Saat ini, putusan hakim terus mendapat sorotan. Mulai dari persoalan salah ketik (clerical error), putusan tidak dapat dilaksanakan, miskin argumentasi hukum, hingga putusan yang kering dari rasa keadilan.
Kritik terhadap putusan hakim harus direspons positif dengan lebih meningkatkan kualitas putusan sehingga benar-benar menjadi mahkota yang dihormati dan mampu menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Hakim hendaknya jangan semata-mata memosisikan diri sebagai cerobong undang-undang (la bouche des lois) yang mengunggulkan kepastian hukum melalui pendekatan legalistik formal pada ketentuan undang-undang.
Anekdot akronim H A K I M yang menyebutkan (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang) sepatutnya lah menjadi dasar evaluasi sikap dan perilaku para hakim untuk kembali ke jalan Tuhan. Putusan hakim harus mengandung nilai keadilan bagi kehidupan konkret manusia. Aspek keadilan menunjuk kesamaan hak di depan hukum (equality before the law), baik kepada penguasa maupun rakyat jelata.
"Hakim alim Hakim disembah, Hakim lalim hakim Bedebah".

Jumat, 01 November 2013

Opini Lentera: KULIHAT IBU (PERTIWI) MENANGIS TERISAK-ISAK

Ketika berkunjung ke Yogyakarta beberapa waktu silam, aku melihat ada sebuah patung batu di Karang Klethak, Dusun Wonorejo, Pakem, Sleman. Patung itu menggambarkan seorang ibu pedesaan yang amat sederhana. Nama patung itu Mbok Turah. Turah berarti lebih atau berkelebihan. Mbok Turah berarti ibu yang berkelebihan.
Bagi penduduk setempat, Mbok Turah adalah kehidupan yang tepersonifikasikan dalam diri seorang ibu. Seperti kehidupan yang berkelebihan, Mbok Turah adalah ibu yang turah-turah atau berkelebihan dalam cinta, pemberian diri, pengorbanan, dan penderitaan. Dan itu semua dapat ditanggungnya karena Mbok Turah ibu yang berkelebihan dalam kesederhanaan. Beberapa seniman Yogya menggali lebih dalam ide Mbok Turah. Perupa Tamtama Anoraga membuat dipan sederhana dari bambu. Di atas dipan ditaruh tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau, tanaman padi, dan beberapa hasil bumi. Karya yang diberi judul ”Peraduan Ibu” itu menggambarkan betapa berlimpahnya kesuburan seorang ibu. Karena kesederhanaan dan pengorbanannya, tempat yang ditidurinya pun bisa menjadi sawah yang menghijau dengan padi dan rerumputan serta hasil bumi.
Sementara Nur Kuntolo mempersonifikasikan Mbok Turah dalam karya patung berupa seorang perempuan yang bertelanjang dada. Di setengah badan perempuan itu mencuat indah buah-buah dada. Patung perempuan dengan banyak buah dada ini diberi nama Sewu Susu atau seribu susu. Idenya, betapapun miskin dan sederhananya dia, karena didorong keinginannya untuk semata-mata memberi, perempuan itu dapat mengalirkan air susu berlimpah-limpah. Kesederhanaan dan kemiskinan bukanlah alasan tak berani memberi. Justru kesederhanaan dan kemiskinan bisa menjadi seribu susu, yang tak pernah berhenti mengalirkan air kehidupan jika kita berani memberikan diri dan milik kita kepada sesama yang membutuhkan.
Mbok Turah adalah antipoda yang bersikap kritis atas perilaku serakah manusia dewasa ini. Ibu sederhana lagi miskin, tetapi berkelebihan dan senantiasa menyunggingkan senyum itu berbanding terbalik dengan Ibu Pertiwi yang sedang menangisi anak-anaknya yang kini sedang dilanda keserakahan nyaris tak mengenal batas. Sebagian anak bangsa ini, lebih-lebih mereka yang berkuasa dan berada, sedang dirasuki angkara murka keserakahan. Mereka seperti didera lapar tak karuan. Lapar kekuasaan, lapar uang dan keuntungan, lapar kepemilikan. Semua mau diuntal: hutan, sawah, gunung, lautan. Hutan dirusak dengan penebangan ilegal. Tak cukup itu, lingkungan hidup dirusak dengan mengubah hutan jadi perkebunan sawit untuk keruk keuntungan.
Daging sapi pun dikorupsi. Kita tak lagi makan daging sapi yang suci, tetapi daging sapi yang sudah terkontaminasi, dikotori nafsu uang yang dikeruk, tidak saja untuk menumpuk kekuasaan, tetapi juga untuk memuaskan nafsu syahwat. Politik berjalan atas nama kebebasan. Politikus bekerja tidak untuk menciptakan ruang kebebasan demi kesejahteraan publik, tetapi merebut wilayah kebebasan demi memupuk kekuasaan dan keuntungan sendiri. DPR adalah wakil rakyat dan kepolisian adalah lembaga penegak hukum tertinggi. Kalau DPR dan kepolisian, dua lembaga tertinggi negara, terindikasi sebagai terkorup, masihkah kita bisa berkelit menghindar dari dakwaan bahwa setan keserakahan benar-benar telah merasuki jiwa bangsa ini? Kita telah jadi makhluk yang digerakkan prinsip keserakahan. Prinsip keserakahan ini telah menjerumuskan kita menjadi masyarakat berkultur konsumtif. Kata seorang teolog dan aktivis hak asasi dari Jerman, Friedrich Schorlemmer, dalam masyarakat konsumtif mau tak mau berlaku prinsip Darwinisme, ”siapa kuat, dia menang”.
Dalam masyarakat demikian, egoisme tak hanya dibiarkan tumbuh secara alamiah. Lebih dari itu, orang dilatih sedemikian rupa jadi egoistis. Para egois yang terlatih dan profesional itu sanggup menunjukkan diri sebagai insan yang mampu bersaing, tahan dalam segala tekanan demi keuntungan yang lebih besar, mahir dalam efisiensi, dan berkepala dingin terhadap perasaan. Egois-egois itulah kader utama masyarakat zaman ini. Masyarakat egoistis tersebut sesungguhnya sedang menggali kuburan sendiri. Kata Schorlemmer, itulah, yang dilukiskan Bertolt Brecht dalam dramanya Jatuh dan Bangunnya Kota Mahagonny. Pada akhir drama dilukiskan bagaimana orang jadi tak peduli satu sama lain. Tak jelas lagi, orang-orang itu kalah atau menang.
Jadi, kata Brecht, ada kemenangan yang adalah kekalahan, ada kebangkitan yang adalah kejatuhan. Mahagonny, kota keserakahan tersebut, ibarat keadaan kita zaman ini. Kita membangun bangunan-bangunan keberhasilan, yang fundamennya rawa-rawa. Dalam arti ini, kita sesungguhnya sudah jatuh dan kalah. Menurut Schorlemmer, tak ada jalan lain menghindari kekalahan itu, kecuali kita berani berjuang melawan keserakahan diri dan mengubah sistem masyarakat agar tidak digerakkan lagi oleh prinsip keserakahan yang konsumeristis.
Kultur konsumeristis yang digerakkan prinsip keserakahan telah menipu kita. Diam-diam kita telah dibawa kultur itu menuju budaya kenyamanan. Sepintas budaya itu kelihatan mengenakkan. Namun, kata Paus Fransiskus, budaya itu membuat kita hidup dalam gelembung sabun, yang meski indah, tiada berisi. Gelembung itu menawarkan ilusi fana dan kosong, yang melahirkan ketidakpedulian terhadap orang lain. Oleh budaya kenyamanan, kita dibuat jadi orang yang hanya berpikir diri sendiri, tidak peka terhadap jerit tangis orang lain. Kata Paus Fransiskus, ”Sungguh, budaya kenyamanan itu telah membawa kita pada globalisasi ketidakpedulian. Kita telah jatuh dalam ketidakpedulian global. Kita terbiasa untuk tidak peduli pada penderitaan orang lain. Derita itu tidak menimpa aku, bukan urusanku.” Globalisasi ketidakpedulian membuat kita ”tak bernama”. Akibatnya, apabila terjadi penderitaan, tiada yang merasa ikut bersalah dan berani bertanggung jawab. Jadi, kata Paus Fransiskus, ”Kita adalah masyarakat yang telah lupa bagaimana menangis, bagaimana berbela rasa, menderita bersama orang lain. Globalisasi ketidakpedulian telah mencabut kita dari kemampuan untuk menangis.”
Seperti diajakkan Paus, kita tak boleh tinggal diam terhadap ketidakpedulian itu. Justru karena arus konsumeristis dan keserakahan yang makin menggila, inilah saatnya membangun kembali kepedulian kepada sesama. Dan menurut Tania Singer, sesungguhnya kita dapat melatih diri memupuk kepedulian sosial itu. Tania adalah profesor perempuan di Jerman, yang mendalami empati dan impuls manusia yang bisa memengaruhi kehidupan sosial. Ia meneliti, bagaimana saraf otak manusia bereaksi dan bekerja dalam kontak-kontak sosial. Singer yang juga konsultan bisnis bahkan melihat, bisnis yang sukses pun sesungguhnya bisa dibangun atas dasar kepedulian sosial. Die soziale Neurowissenschaft, ilmu pengetahuan tentang saraf-saraf sosial, menunjukkan, manusia bukanlah homo economicus, yang hanya mengenal kebutuhan sendiri, melainkan manusia yang bisa ikut merepresentasikan kebutuhan dan perasaan orang lain dalam tubuh maupun otaknya.
Sayang kehidupan dan institusi-institusi bisnis modern tidak melihat potensi dari empati dan saraf sosial itu. Kehidupan dan bisnis modern justru memblokir dan mematikan potensi tersebut. Semboyannya ”aku harus mempunyai lebih”. Dan utamanya membangun motivasi untuk meraih prestasi, persaingan, dan keuntungan. Saraf ekonomis macam itulah yang sekarang sedang menguasai dan bekerja dalam otak kita. Kita jadi terpenjara dalam ketakutan neurotis, seakan kita tidak bakal sukses jika tidak memaksimalkan prestasi, persaingan dan keuntungan.
Begitulah, bisnis modern seakan ditakdirkan untuk berjauhan dengan caring atau kepedulian yang tertanam dalam diri manusia. Singer membantah pendirian itu. Baginya, caring system atau sistem kepedulian itu dapat juga jadi basis kokoh bagi sistem bisnis. Kita perlu menyekolahkan lagi empati dan saraf sosial kita, seiring dan dalam keseimbangan dengan usaha-usaha ekonomis kita. Para ekonom perlu yakin, bahwa ”memperhitungkanliyan dan kesejahteraan bersama” adalah prinsip yang sama menguntungkannya dengan prinsip meraih prestasi dan laba.
Di dalam dunia persaingan bisnis sekarang, ekonomi hanya berpikir bagaimana meningkatkan prestasi, memperbesar modal, memperbanyak konsumsi, dan meraup keuntungan. Ekonomi lupa, semua itu perlu diseimbangkan dengan upaya meningkatkan empati, kepedulian sosial, dan berbela rasa terhadap liyan. Tanpa keseimbangan itu, anggota masyarakat terjerumus dalam ketidakbahagiaan, tersiksa oleh egoisme yang kesepian, terbudakkan oleh persaingan yang saling memakan, terbelenggu konsumerisme yang serakah tanpa kesudahan. Menurut Singer, ekonomi demikian perlu diubah jadi caring economics, ekonomi yang berkepedulian. Kita harus berjuang mati-matian mengubah prinsip keserakahan jadi prinsip kepedulian. Pedoman hidup egoistis, ”aku harus memiliki lebih” harus kita ubah jadi pedoman hidup altruistis ”memiliki kurang justru berarti lebih”. Dengan berani jadi ”kurang” dalam prestasi material dan konsumsi, kita jadi ”lebih” dalam prestasi rohani dan kemanusiaan. Kita jadi punya lebih banyak waktu untuk perjumpaan, memupuk kepedulian, meningkatkan rasa saling percaya. Itu semuanya akan meningkatkan kualitas hidup dan membuat hidup kita bahagia.
Konsep caring system di atas sebenarnya harta pusaka yang sudah kita miliki sejak semula, yakni dalam dasar negara kita: Pancasila. Seperti terbaca dalam uraian para pendiri bangsa, caring system itu sungguh sudah termaktub dalam setiap sila dari Pancasila. Dan apabila Pancasila dengan caring system-nya itu diwujudkan dalam ekonomi, kita pasti akan mempunyai dan mempraktikkan caring economics yang khas kita, ekonomi berbasis kepedulian sosial dan anti-keserakahan tersebut. Dalam sejarah lahirnya Pancasila, jelas terbaca bahwa Indonesia terjadi dan akan terus terjadi karena warganya bertekad untuk terus melanjutkan kebersamaan, keseriwayatan, kesenasiban, kesependeritaan, kesepedulian, dan keseharapan.
Tidakkah dalam pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno berkata, Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Negara Indonesia adalah ”semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”. Tidakkah menurut Bung Hatta, bangsa Indonesia terjadi oleh keinsafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan? Tidakkah keinsafan itu bertambah besar karena sama seperuntungan, malang sama diderita, mujur sama didapat. Dan tidakkah bangsa ini terjadi karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, dan karena riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak kita?
Namun, celakanya, kini Pancasila kita jauhkan dari kehidupan kita. Kalaupun ada, hanyalah terdengar sebagai slogan pemanis hidup bernegara belaka. Kita mengakui Pancasila, tetapi hidup kita berjalan ke arah lain yang bertentangan dengannya. Mungkin itulah sebabnya, otak kita jadi kehilangan saraf-saraf sosialnya. Akibatnya, kita kehilangan bela rasa dan kepedulian sosial. Kita tak mencintai nilai-nilai Pancasila, akibatnya hati kita kaku dan beku, sehingga kita tidak bisa menangisi penderitaan sesama anak bangsa: setiap kita jadi anonim terhadap penderitaan. Politik kita diam-diam telah memetieskan Pancasila, akibatnya politikus kita jadi melulu konsumtif dan rakus, serta politik kita pun bergerak atas dasar prinsip keserakahan belaka.
Caring system telah menghilang dalam kehidupan berbangsa kita. Caring economics pun hanya jadi impian belaka. Lenyapnya caring economics ini kiranya sebab pokok mengapa bangsa yang turah-turah, berlimpah-limpah kekayaan alam sampai bisa terjerumus ke krisis kedelai. Politik pertanian kita terseret ke gerak ekonomi yang tak prorakyat kecil. Akibatnya, tak bisa membela rakyat terhadap keserakahan mereka yang merebut lahan pertanian demi megaproyeknya.

Krisis kedelai itu bukan hal sepele. Krisis kedelai itu tangis alam kebangsaan kita yang memberi sinyal bahaya bahwa kita tak lagi hidup dalam Tanah Air yang turah-turah atau berkelimpahan dengan hasil bumi. Negara jadi miskin karena warganya serakah. Karena keserakahan, harta Ibu Pertiwi dirampok habisan-habisan. Ibu Pertiwi ibarat bukan lagi Mbok Turah karena tak bisa memberikan lagi kelimpahan bagi putra dan putrinya, lebih-lebih yang miskin dan menderita. Sementara negaranya terpecah-pecah antara yang miskin dan kaya, karena kepedulian sosial nyaris sirna. Terhadap penderitaan sesama bangsa yang susah, anak-anaknya, yang sudah keras hatinya, tak lagi bisa mencucurkan air mata. Lebih menyedihkan lagi, anak-anaknya tak dapat menyesali dan menangisi tingkah lakunya yang salah. Itulah yang membuat Ibu Pertiwi bersusah hati. Ibu Pertiwi sedang menangisi keserakahan kita, menangis terisak-isak.


Opini Lentera.Com