Senin, 16 Desember 2013

NEGERI PARA SKIZOFRENIA

Negeri ini semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaan dan politik reformasi. Visi founding father bangsa kita, yang ingin mengantarkan kemerdekaan sebagai pintu gerbang kesejahteraan dikhianati para koruptor.

Janji reformasi yang ditandai penggulingan rezim otoriter menuju keterbukaan pendapat, akses informasi, dan demokrasi politik ditelikung oleh mereka yang menggunakan jabatan sebagai akses utama menguras uang negara. Bagaimana renungan untuk bangsa yang semakin jauh dari orbit menjadi bangsa yang besar?

Negeri ini telah menuju bibir jurang kehancuran dengan pejabat-pejabat skizofrenia sebagai penggembalanya. Ini terjadi ketika hampir semua pejabat negara lupa pada tanggung jawabnya. Para politikus lupa hakikat perjuangannya. Para ilmuwan lupa pada aplikasi ilmunya, hanya menjunjung teori setinggi langit. Seniman pun lupa dengan hakikat kreatifnya.
Mereka yang sejatinya waras, dianggap gila sepenuhnya.

Indonesia kini tak ubahnya deretan catatan hitam dan sengkarut kasus korupsi. Berderet-deret kasus korupsi berdesakan dengan tindakan amoral, asusila, dan setumpuk persoalan moral yang menjadi akar sekaligus ranting pohon kering bernama integritas. Sebagai negara, Indonesia masih kuat untuk bertahan lama. Akan tetapi, akar-akar yang menopangnya selama ini digerogoti ribuan kasus yang tak pernah selesai.

Jika membentangkan deretan masalah yang menjerat bangsa ini, dalam perspektif psikiatri, tak dapat disangkal kemungkinan hadirnya republik skizofrenia (David Hill, 1983). Di republik ini, yang ada hanyalah birokrasi yang depresif.

Sistem kerja politik yang telah dihajar tren koruptif, suap-menyuap, dan mental gratisan. Ini telah berlangsung tiga dekade dalam lanskap politik kemerdekaan dan ratusan tahun menghamba pada kekuasaan kolonial.

Teror-teror yang terjadi dalam konteks politik agama menjadi bukti hadirnya mental skizofrenik. Bagaikan palu godam menghantam kepala, mental skizofrenik terwujud dalam bentuk teror bom, teriakan syariat, dan adu fisik kelompok yang berjibaku atas nama agama. Mereka yang meneriakkan kalimat Tuhan dan menyitir hikmah nabi, hanya untuk menghakimi kelompok lain.

Palu godam bernama agama berhasil memukul kelompok-kelompok minoritas yang dianggap sesat dan bahkan “disesatkan”. Dari catatan historis, kasus Ahmadiyah dan Syiah menjadi bagian teror skizofrenik yang lambat laun tidak sekadar halusinasi, tetapi menjadi teror fisik yang melahirkan perpecahan internal bangsa ini.

Di panggung politik, berderet kasus-kasus membuat kepala rakyat kecil pusing. Setelah tiap hari dihajar oleh mahalnya biaya hidup, meroketnya harga bahan pokok, minimnya jaminan kesehatan, dan mundurnya kualitas pendidikan, warga dijerat simpang siur informasi kasus korupsi pejabat negara, seperti kasus Century, impor sapi, Hambalang, simulator SIM, dan ratusan kasus yang berderet di meja berkas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Data yang disampaikan FEB UGM, selama 2001-2009 uang negara yang dikorupsi senilai Rp 73, 07 triliun. Akan tetapi, total nilai hukuman finansial hanya Rp 5,32 triliun atau setara 7,29 persen. Selisih dana sebesar Rp 67,75 triliun adalah jumlah yang ditanggung rakyat dengan imbas pada minimnya dukungan negara untuk kesejahteraan warga.

Orang-orang cerdik yang berpengalaman dalam karier akademik dan birokrasi, kemudian diberi amanah sebagai panglima hukum.
Nyatanya, mereka juga tergoda untuk melakukan tindak korupsi. Kasus suap di lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi bukti. Gaji tinggi dan segepok sertifikat prestasi tidak menjamin integritas personal. Visi dan moral pejabat negara dipertaruhkan di tengah sistem politik skizofrenik saat ini.

Bagaimana menyelamatkan bangsa yang didera skizofrenia? Hal yang menjadikan negara dan bangsa bertahan adalah adanya harapan. Jika harapan masih ada, akan terus ada semangat untuk meneruskan kehidupan dan masih ada tenaga untuk melakukan perubahan. Harapan (hope) inilah yang menjadi doa dan inspirasi bagi hadirnya orang-orang baik pada sistem politik yang busuk sekalipun.

Saat situasi krisis dalam birokrasi negara, apa yang disampaikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—Wakil Gubernur DKI Jakarta—dunia politik negeri ini masih kekurangan orang baik. Ini menjadi poin penting untuk membaca tingkat kerusakan dalam republik skizofrenik ini. Apakah hadirnya orang-orang baik saja cukup? Saya kira tidak.

Orang-orang baik harus memiliki visi yang kuat, bersinergi, dan berani melakukan perubahan. Orang-orang baik, yang selama ini bertahan dalam sistem politik yang kotor, pelan-pelan disingkirkan dari medan pertarungan politik. Mereka yang mampu menghadirkan perubahan, akan dapat bertahan dan dikenang.

Jadi, harus ada komunikasi integratif antar-orang-orang baik dalam ruang politik. Hal ini untuk saling bertukar gagasan, melakukan perubahan bersama, dan menabrak batas-batas moral yang selama ini telah dikonstruksi dengan standar kebiasaan, bukan standar kebenaran.

Politik dengan aktor yang memiliki integritas, bervisi kuat, dan sanggup melakukan perubahan inilah, yang menjadi penyelamat negeri ini. Proses menuju 2014 adalah menjaring hadirnya kelompok “orang baik” yang sanggup memberikan perubahan.

SELAMAT JALAN MADIBA

Setelah berjuang menghadapi penyakitnya, Nelson Mandela berpulang ke pangkuan-Nya. Mandela yang akrab di sapa Madiba oleh warga Afrika Selatan meninggal pada Kamis (5/12/2013) malam waktu setempat atau Jumat (6/12/2013) waktu Indonesia. Sebelum kematiannya, pihak keluarga sudah merelakan Mandela pergi selamanya. 

Kepergian Mandela meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Afrika Selatan khususnya dan masyarakat internasional umumnya. Mandela dan Afrika Selatan adalah dua sisi yang tak bisa dipisahkan. Mandela menjadi ikon Afrika Selatan dan juga simbol perlawanan dunia Afrika yang menjadi korban diskriminasi sosial. 

Siapa pun tak bisa menyangsikan kegigihan perjuangan Mandela dalam membangun tatanan sosial yang anti diskriminasi, egaliter, dan humanis. Peran sentralnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia kontemporer. Tidak berlebihan jika kepergian Mandela juga menjadi duka bagi dunia humanisme yang diperjuangkan dengan penuh totalitas oleh Mandela.

Mandela dianggap berdedikasi tinggi untuk merawat nilai-nilai humanisme dalam masyarakat Afrika Selatan dan memperjuangkan kemanusiaan melalui kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat regional dan internasional berbasis nilai-nilai yang universal. Pengaruhnya menyebar melewati batas-batas geografis dan ideologis.

Gerakan dan pemikiran politiknya melampaui lintas generasi dan tumbuh subur dalam generasi yang lebih mapan dengan sokongan tatanan global yang lebih sejahtera. Kredit Mandela sangat jelas dalam memberikan semangat pluralitas dan menjadi inspirasi untuk perubahan sosial masyarakatnya.

Perjuangan anti-apartheid yang diusung Mandela merupakan tonggak penting dalam sejarah sosial global. Mandela dengan gigih mendobrak kemapanan dan hegemoni kulit putih dalam berbagai ruang sosial. Fakta di lapangan menunjukkan Mandela tersadarkan secara ideologi bahwa hegemoni kulit hitam dilakukan secara masif dan terstruktur. Mandela tak bisa membiarkan rakyat Afrika Selatan yang dijajah oleh kolonialisme kulit putih. 

Sejak tahun 1948, di Afrika Selatan diberlakukan kebijakan apartheid, yaitu kebijakan yang mengatur dan mengawal sistem ekonomi, politik, dan budaya yang didominasi oleh kulit putih. Di dalamnya sangat kuat pengaruh kebijakan diskriminasi ras. Mandela melakukan serangkaian pergerakan dalam meng- galang rakyat menghadapi hegemoni kulit putih. 

Dalam kondisi yang represif dan hegemonik, tak mudah perjuangan Mandela tersebut. Mandela mengalami berbagai tekanan dan intimidasi politik yang mengancam nyawa diri dan keluarganya. Meski demikian, komitmennya tak luntur menghadapi berbagai serangan dari rezim penguasa tersebut. Dalam periode hegemoni kulit putih itu, Mandela menjadi korban politik di penjara.

Perjuangan Mandela mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat internasional. Periode ini ditandai dengan mulai dihapuskannya secara perlahan-lahan kebijakan apartheid dan diselenggarakan pemilu pertama tanpa diskriminasi pada 1994. Inilah puncak perjuangan Mandela yang mengantarkannya sebagai presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan.

Puncak perjuangan Mandela ini jika meminjam istilah Chistopher Clapham (2012) disebut dengan "from liberation movement to government". Clapham menulis legasi penting transisi Afrika Selatan pascarezim kolonial kulit putih. Sejalan dengan Clapham, akumulasi perjuangan Mandela dalam membawa Afrika Selatan menuju era baru sejatinya adalah bagian dari gerakan liberasi masyarakat tertindas menuju masyarakat yang lebih bermartabat.
Gagasan Mandela menunjukkan bahwa visi humanisme dan politik anti-diskriminasi tak pernah mati. Mandela mengkritik narasi sosial-budaya yang dianggapnya definisi dan konstruksi dari rezim kulit putih. Dalam konteks itu, Mandela menjelaskan bahwa narasi sosial-budaya harus keluar dari jebakan dan segregasi etnis dan ideologis. Ini adalah upaya Mandela menanamkan visi humanisme masyarakat.

Keprihatinan Mandela kemudian menjadi referensi gerakan liberasi alternatif di berbagai negara. Visi Mandela sekaligus memperkuat gerakan poskolonial yang marak berkembang di negara-negara dunia ketiga. Teori poskolonial (postcolonial theory) adalah sebuah studi yang membahas diskursus tentang reaksi, analisis, serta berbagai warisan kebudayaan penjajahan. 

Studi poskolonial merupakan pendekatan lintas disiplin, bisa berupa antropologi, arsitektur, filosofi, film, ilmu politik, geografi sosial, sosiologi, feminis, studi agama/teologi, sastra. Tujuan utama pascakolonialisme adalah meme rangi efek sisa kolonialisme pada budaya. Kehadiran poskolonial juga tidak sekadar menyelamatkan dunia masa lalu, tetapi mempelajari bagaimana dunia bisa bergerak di luar periode ini bersama-sama menuju tempat saling menghormati.  

Teori poskolonial dibangun atas basis historis dan kesamaan pengalaman pahit praktik kolonialisasi yang berlangsung secara masif di negara-negara jajahan.
Dalam lintasan zaman, visi humanisme Mandela selalu mengalami reproduksi di tingkat praksis. Kiprah Mandela dalam membangun narasi sosial baru serasa menjadi oase di tengah ancaman kolonialisme negara- negara dunia ketiga. Usahanya tak kenal lelah menanamkan kesadaran humanis di kalangan masyarakat korban diskriminasi. 

Mandela tak sekadar berteori. Mandela sudah melakukannya dengan visioner. Pada aras ini, Mandela menegaskan bah wa kesetaraan menjadi elan vital humanisme di masyarakat. Gerakan liberasi yang dilakukan Mandela pada dasarnya adalah kapitalisasi dari upaya mentransformasikan visi humanisme di lingkungan global. Singkatnya, visi kemanusiaan tampil secara masif dalam praktik sosial politik Mandela. Itulah legasi terpenting dari Mandela. Selamat jalan Madiba!