Kamis, 10 Oktober 2013

Opini Lentera.com: SAYA TERANIAYA SEBAGAI RAKYAT, KARENA ITU SAYA INGIN JADI PENGUASA

Sebagai seorang yang pernah menjadi pimpinan analis kelayakan kredit di sebuah perusahaan multi finance yang memiliki cabang hampir di seluruh wilayah provinsi di Indonesia, saya sering kali turun ke lapangan untuk mengatasi permasalahan kredit macet yang timbul, bersama-sama dengan rekan kerja yakni para collector dan surveyor perusahaan. Dalam suatu kesempatan saya mendatangi rumah seorang konsumen yang telah menunggak selama tiga bulan pembayaran angsuran sebuah produk televisi berwarna 14" sekitar Tahun 2002. Ketika melihat dan menyaksikan sendiri kondisi dan keadaan rumah yang menurut saya (maaf) jauh dari predikat layak huni tersebut, saya langsung menilai bahwa konsumen tersebut sesungguhnya tidak layak diberi kredit, walau hanya sebuah produk televisi berwarna 14" yang angsuran perbulannya tidak lebih dari Rp.45,000,-. Konsumen itu adalah seorang perempuan paruh baya, yang pekerjaan sehari-harinya adalah penjual pecal keliling dengan menggunakan sepeda. Ia tinggal di rumah tersebut bersama seorang anak perempuannya yang masih bersekolah di sebuah SMA swasta di kota Medan. Suaminya telah dua tahun meninggal dunia. Saya sampai di rumah tersebut pukul 17.15 WIB dan mendapatkan rumah tersebut dalam keadaan terkunci. Dari para tetangga saya memperoleh informasi bahwa penghuninya belum pulang berjualan dan anak perempuannya juga belum pulang dari sekolah. Namun tetangganya tersebut mengatakan bahwa biasanya nggak lama lagi ibu tersebut akan pulang dari berjualan. Saya dan beberapa rekan kerja menunggu kedatangan ibu tersebut, dan benar saja selang limabelas menit kemudian si ibu penjual pecal tersebut pun datang sambil mengangkat bagian depan sepedanya karena garpunya patah. Sepedanya kelihatan rusak parah. "Dari perusahaan kredit X ya pak", katanya kepada saya. "Ya bu" jawab saya pelan, sambil membantunya mengangkat bagian depan sepedanya tersebut. Setelah menyandarkan sepedanya di bagian dinding papan depan rumahnya, ibu itu bergegas membuka pintu rumahnya. Begitu pintu rumah itu terbuka saya langsung melihat keadaan di dalam rumah. Hanya ada rosbang, meja tamu tua yang sudah mulai lapuk dan sebuah sofa butut yang busanya sudah tak ada lagi. Televisi berwarna 14" yang diangsurnya tersebut terletak di atas rosbang tua persis di di depan dinding ruang tamu. Saya hanya bisa menghela nafas dalam-dalam melihat pemandangan di dalam rumah itu. "Masuk pak, silahkan duduk. Udah lama menunggu pak?" ya, terima kasih bu, baru aja bu" kata saya. "Beginilah keadaan rumahnya pak". "Ya bu, gak apa-apa" kata saya lagi. "Tadi sepedanya rusak, garpunya patah tiba-tiba. Mau nagih angsuran tv nya ya pak?" Saya hanya mengangguk pelan. Rasa prihatin bercampur haru mulai menyelimuti nurani saya. "Sebentar ya pak, biar saya ambil uangnya di kamar. Tiga bulan kan pak nunggaknya?" Lagi-lagi saya hanya bisa mengangguk pelan. Seorang rekan kerja saya menemani saya di dalam rumah dan dua orang lainnya berada di luar rumah, saya melihatnya sedang ngobrol dengan tetangga ibu tersebut. Tak lama kemudian si ibu keluar dari kamarnya membawa sebuah kantongan kain bertali tempat ia menyimpan uangnya. Kemudian di meja tamu persis di hadapan saya ia mengeluarkan seluruh isi kantongan tersebut. Sejumlah uang tukaran sepuluh ribuan, lima ribuan, seribuan dan recehan lima ratusan berserakan di atas meja tamu tersebut. Ibu itu pun mulai menghitungnya. "Berapa semua total tunggakan saya pak?" Rekan kerja saya yang duduk di samping saya menjawabnya, "semuanya seratus tigapuluh lima ribu rupiah bu, untuk tiga bulan tunggakan". Ketika si ibu mulai menghitung uangnya, saya menyuruh rekan kerja saya itu keluar dari rumah si ibu. Rekan kerja saya itupun keluar dari rumah si ibu meninggalkan saya dan si ibu berdua di dalam rumah. Si ibu dengan tekun terus menghitung uangnya. Setelah cukup jumlahnya ia menyerahkannya kepada saya. "Seratus tigapuluh lima ribu rupiah kan pak?" Ini uangnya pak" Terlihat sisa uang yang ada di meja tamu setelah ia menyerahkan uang yang jumlahnya seratus tigapuluh lima ribu itu kepada saya, hanya sekitar tujuh sampai delapan ribuan saja. "Besok, gimana ibu jualan? Sepedanya rusak" tanya saya. Si ibu hanya terdiam dan tertunduk. "Nanti saya pinjam uang dari tetangga untuk perbaiki sepeda dan buat modal jualan besok" ibu itu menjawab setelah lama terdiam. Saya terhenyak kaget mendengar jawaban si ibu. "Saya sudah janji sama tukang tagih bapak yang namanya si Y itu pak, bahwa saya akan membayar seluruh utang saya sore ini. Karena itu saya harus menepatinya pak. Saya orang miskin pak, gak punya apa-apa yang mau saya banggakan, tapi saya masih punya harga diri dan janji yang harus saya jaga dan tepati pak. Hanya itu yang tersisa milik saya yang paling berharga". Saya kembali menghela nafas dalam-dalam dan memejamkan mata rapat-rapat seakan-akan tak ingin saya buka kembali. Sesaat kemudian saya minta ijin kepada si ibu untuk pergi ke kamar mandi di rumahnya. Setelah berada di kamar mandi yang begitu kecil, tak terawat dan berlantai semen yang sudah pecah-pecah itu, saya pun tak kuasa lagi membendung tetesan air mata saya. Sekitar dua menit saya di kamar mandi dan setelah membasuh wajah saya dan melapnya dengan sapu tangan, saya pun kembali ke ruang tamu menemui ibu itu. Saya menyerahkan kepadanya kuitansi pelunasan atas pembayaran tv nya. "TV ibu sudah lunas, ini kuitansinya, dan uang seratus tigapuluh lima ribu ini saya kembalikan kepada ibu buat perbaiki sepeda dan modal jualan ibu besok. Jangan bilang sama siapapun tentang hal ini. Semoga ibu dilindungi dan diberkahi oleh Allah. Saya permisi pulang bu". Saya menyalaminya, terlihat wajahnya seperti kebingungan, tapi saya perduli dan tak ingin lama-lama berada di rumah itu. Sesaat kemudian saya sudah berada di luar rumah si ibu dan mengajak semua rekan-rekan kerja saya untuk segera pulang. Peristiwa tersebut sampai sekarang ini masih tetap membekas dalam hati dan pikiran saya.
Ketulusan, kejujuran dn sikap yang memegang teguh janji dari seorang kecil yang jauh dari hidup layak, yang hanya memiliki tv warna 14" sebagai satu-satu nya sarana hiburan dan harta yang paling bernilai di rumahnya, yang membuat saya harus mengangkat topi sebagai tanda kagum dan hormat padanya. Suatu sikap murni, tulus dan ikhlas untuk mensyukuri apa yang dimiliki meski yang dimilikinya itu terlalu jauh dari apa yang dinginkannya. Sikap dan sifat si ibu bertolak belakang dengan sifat dan sikap para koruptor negeri ini yang begitu tak mengenal rasa syukur dengan jabatan yang telah disandangnya dan terlalu serakah dalam memanfaatkan jabatannya untuk mencoleng uang negara, yang notabene juga adalah uang saya, uang si ibu penjual pecal itu, uang seluruh kaum papa di negeri ini, uang seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengenal belas kasihan, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Kita semua sadar ada realitas yang tidak berjalan dengan benar. Meminjam pandangan F Budi Hardiman, kesadaran kita tidak pernah sampai dalam bentuk yang murni sebagai ”kebenaran murni”. Selalu ada distorsi yang hendak menyimpangkan kesadaran dengan manipulasi realitas. Kesadaran yang dibangun secara kolektif di masyarakat bisa disimpangkan sehingga pada akhirnya tidak pernah kita akan bertemu dengan ”rasa syukur murni”, "ketulusan murni" dan keikhlasan murni". Semuanya adalah kepura-puraan, pembohongan publik dan sandiwara jabatan.
Dalam negara demokrasi, suara rakyat begitu penting. Suara rakyat ini diwakili oleh wakil-wakil rakyat yang notabene adalah manusia-manusia yang berstatus rakyat juga. Ketika saya menulis ini pun, saya juga adalah rakyat. Hanya saja saya tidak begitu paham apakah suara saya selama ini terwakili.
Suara saya sangatlah sederhana. Saya hanya menginginkan jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota di seluruh negara kepulauan ini terpelihara dengan baik. Saya hanya menginginkan ketersediaan pangan di seluruh negeri. Saya hanya menginginkan ketenteraman sebagai warga negara yang berdaulat dan beragama. Saya hanya menginginkan kejujuran dalam mengelola negara ini seperti halnya saya berusaha sekuat tenaga mengupayakan kejujuran diajarkan dalam keluarga.
Dalam keinginan-keinginan saya sebagai rakyat Indonesia yang hidup di dan dari tanah ini, saya mulai bertanya-tanya: apakah saya ini benar-benar ada? Secara tubuh dan pikiran, ya, saya merasakan bahwa saya teraba dan terdengar apabila saya bersuara. Secara pergaulan, ya, saya mempunyai teman-teman yang berbicara dan berinteraksi dalam berbagai cara. Sebagai manusia yang bekerja, ya, saya mempunyai pekerjaan yang memberikan efek balik, yaitu gaji bulanan yang saya terima.
Namun, sebagai rakyat, saya mulai bertanya-tanya: apakah saya ini ada? Apakah harapan-harapan saya itu juga diharapkan oleh jutaan rakyat lainnya? Ataukah, hanya saya yang sebenar-benarnya adalah rakyat?
Setiap kali saya mendapatkan gaji bulanan yang tak seberapa itu, gaji saya dipotong untuk pajak bagi negara ini. Setiap kali saya mengajak anak- anak saya makan di gerai-gerai makanan, selalu ada tertera pajak makanan. Setiap tahun saya harus antre untuk membayar pajak kendaraan. Setiap saya membayar tiket perjalanan, selalu ada pajak yang saya bayarkan. Tampaknya saya ini tidak pernah mendapatkan peluang untuk menghindari pemotongan-pemotongan ini. Pemotongan pajak ini dikatakan sebagai kewajiban warga negara. Pertanyaan saya, apakah hak saya?
Ketika saya membayar pajak kendaraan, apakah jalan-jalan di negeri ini semakin baik? Di Pulau Jawa, pulau tempat pemerintahan bercokol, jalan-jalan tersebut tidak terpelihara dengan baik. Apa yang terjadi dengan jalan-jalan di luar Pulau Jawa? Ketika gaji saya dipotong, apakah kesejahteraan saya terjamin? Apakah saya mendapatkan kompensasi kesehatan dari gaji keringat yang saya keluarkan? Apakah saya mendapatkan kompensasi harga-harga bahan pokok yang murah sesuai dengan sarapan, makan siang, dan makan malam yang saya dan keluarga saya butuhkan?
Saya berharap, suatu hari saya akan menjadi wakil rakyat atau malah penguasa negeri ini. Buat saya, daripada saya memikirkan langkah-langkah politik yang tidak pernah membawa kebenaran sejati, alangkah baiknya apabila saya memperbaiki jalan-jalan, meningkatkan asupan gizi anak-anak negeri, menyehatkan rakyat, dan langkah-langkah yang terlihat mata fisik dan hati.
Perasaan ngeri saya melihat apa yang terjadi sekarang lebih kurang sama dengan apa yang dirasakan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir atau Ki Hadjar Dewantara. Perbedaannya, di zaman beliau-beliau tersebut, jelas garis antara penjajah dan yang terjajah. Di zaman sekarang, tidak jelas antara penjajah dan yang terjajah. Zaman ini sangat abu-abu dan manipulatif! Sebagai seorang rakyat, patutlah saya berseru: SAYA INGIN JADI PENGUASA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar