Minggu, 11 Agustus 2013

PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG BERINDIKASI PIDANA

Notaris sebagai Pejabat Umum, sekaligus pula sebagai profesi, posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Notaris seyogianya berada dalam ranah pencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan. Tidak dapat dibayangkan bila Notaris justru menjadi sumber masalah bagi hukum akibat akta otentik yang dibuatnya dipertanyakan kredibilitasnya oleh masyarakat.
Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004, yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2004 sebagaimana dituangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 117, yang terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal tersebut semakin mempertegas posisi penting Notaris sebagai Pejabat Umum yang memberikan kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya. Landasan filosofis lahirnya UUJN Nomor 30 Tahun 2004, adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang beerintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat penggguna jasanya. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris, namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris, sungguh-sunggguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehinggga menjadi jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara independen (tidak memihak) dan bebas (unpartiality and Independency). Notaris merupakan Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi Pejabat Umum lainnya. Akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan bukti otentik, bukti paling sempurna, dengan segala akibatnya. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), memberikan penegasan kepada Notaris sebagai Pejabat Umum. Pasal 1868 KUH Perdata tersebut menyatakan bahwa, "Suatu akta otentik, ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang di tempat dimana akta itu dibuat". Namun demikian Notaris bukanlah satu-satunya Pejabat Umum yang ditugasi oleh undang-undang dalam membuat akta otentik. Ada Pejabat Umum lainnya yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik tertentu seperti, Pejabat Kantor Catatan Sipil dalam membuat akta perkawinan, akta kelahiran, akta kematian, Pejabat Kantor Lelang membuat akta lelang, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta otentik di bidang pertanahan, Kepala Kantor Urusan Agama dalam membuat akta nikah, talak dan rujuk dan lain sebagainya. Namun secara umum dapat dikatakan Notaris adalah satu-satunya Pejabat Umum yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang yang cukup besar dalam membuat hampir seluruh akta otentik. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris harus dapat bersikap profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sekaligus menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris sebagai rambu yang harus dipatuhi.
Di dalam Pasal 16 hurup a UUJN Nomor 30 Tahun 2004, Notaris diwajibkan bertindak jujur, seksama, mandiri tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Di samping itu Notaris sebagai Pejabat Umum harus peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan fenomena sosial yang muncul, sehingga dengan begitu akan menumbuhkan sikap keberanian dalam mengambil tindakan yang tepat. Keberanian yang dimaksud adalah keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui akta yang dibuatnya dan menolak dengan tegas pembuatan akta yang bertentangan dengan hukum, moral dan etika. Kepercayaan masyarakat terhadap Notaris adalah juga merupakan kepercayaan masyarakat terhadap akta yang dibuatnya. Itulah sebabnya mengapa jabatan Notaris sering pula disebut dengan jabatan kepercayaan. Kepercayaan pemerintah sebagai instansi yang mengangkat dan memberhentikan Notaris (dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM), sekaligus pula kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa Notaris.
Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa, "Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya, seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian". Keterangan palsu yang tercantum dalam akta Notaris tersebut membutuhkan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang (Polri), apakah bersumber dari para penghadap yang memberikan keterangan tidak lengkap/tidak jujur, atau memberikan dokumen palsu kepada Notaris yang mengakibatkan lahirnya akta yang cacat hukum. Apabila kesalahan yang terjadi pada pembuatan akta otentik tersebut berasal dari para penghadap dengan memberikan keterangan yang tidak lengkap/tidak jujur dan memberikan dokumen palsu kepada Notaris, maka para penghadaplah yang seharusnya dikenakan tuntutan pidana oleh pihak lain yang merasa dirugikan dengan terbitnya akta yang mengandung cacat hukum tersebut. Dengan catatan Notaris yang menerbitkan akta yang mengandung cacat hukum tersebut tidak terlibat sama sekali dalam memasukkan keterangan palsu, maka secara hukum Notaris yang bersangkutan terlepas dari jerat hukum Pasal 266 ayat (1) KUHP. Namun bila ternyata terbukti dalam penyelidikan dan penyidikan pihak yang berwenang (Polri), Notaris tersebut terlibat konspirasi dengan para penghadap dalam memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, maka Notaris tersebut dapat dijerat dengan Pasal 266 ayat (1) KUHP tersebut.
Prosedur pemanggilan notaris oleh pihak berwenang (Penyidik Polri), dalam status sebagai saksi maupun tersangka wajib memenuhi ketentuan yang tercantum dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004, yaitu harus memperoleh ijin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris. Tanpa ijin tertulis dari MPD Notaris, Penyidik Polri tidak dapat melakukan pemanggilan terhadap Notaris tersebut secara langsung. 

NB : Pasal 66 ayat (1) UUJN nomor 30 Tahun 2004 yang mewajibkan pihak penyidik bila akan memanggil notaris baik sebagai saksi maupun tersangka dalam dugaan tindak pidana berkaitan dengan akta yang dibuatnya wajib memperleh ijin dari Majelis Pengawas Daerah (MPD), dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan MK nomor 49/PUU-X/2013 tanggal 28 Mei 2013. Dengan demikian sejak tanggal keputusan MK tersebut tidak dibutuhkan lagi ijin dari MPD bila penyidik akan memanggil Notaris baik sebagai saksi maupun tersangka berkaitan dengan dugaan tindak pidana terhadap akta yang dibuatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar