Rabu, 14 Agustus 2013

FENOMENA PEMBAKARAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LP) OLEH WARGA BINAAN

 Winston Churchill pernah mengatakan bahwa, "Sikap, suasana hati, penghormatan, serta perlakuan suatu bangsa terhadap kejahatan dan pelanggar hukumnya merupakan salah satu alat test yang sahih dalam mengukur tinggi rendahnya peradaban bangsa itu". Indonesia sebagai sebuah negara hukum berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 melalui penegak hukumnya seyogianya memperlakukan para pelanggar hukumnya baik di tingkat penyidikan (tersangka), proses persidangan di pengadilan (terdakwa), maupun pasca keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht van gewijsde) (narapidana/warga binaan (pen)) dengan manusiawi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum pidana. Dari uraian di atas, maka aparat penegak hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, hakim (pengadilan) dan petugas Lembaga Pemasyarkatan (LP) sebagai satu sistem penegakan hukum terpadu (Integrated Criminal Justice System) sudah selayaknya menyadari kedudukannya yang sangat strategis tersebut dalam mewujudkan masyarakat hukum yang adil, tertib, aman dan memiliki kepastian.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang LP menyebutkan bahwa, "Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana". Sedangkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan bahwa, "Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar memperbaiki kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab". Menyadari bahwa tindakan pemenjaraan (institusionalisasi) dapat membawa dampak yang destruktif, karena adanya kumpulan berbagai gaya dan perilaku negatif (kriminal) yang dibawa oleh masing-masing warga binaan dari luar ke dalam tembok LP dan akan saling berinteraksi, saling mengajari dan saling pengaruh mempengaruhi selama penahanan berlangsung di LP, sehingga timbul kekhawatiran bila sistem dan prosedur pembinaan di LP tidak terlaksana dengan baik justru dapat menimbulkan dampak yang lebih negatif (kriminal) lagi pada diri masing-masing warga binaan setelah keluar dari LP. Bila hal ini terjadi maka proses pembinaan selama di LP telah gagal total dan LP akan terkena stigma (labeling) dari masyarakat sebagai "The Criminal high School" (sekolah tinggi ilmu kejahatan). Hal ini bisa terjadi bila warga binaan yang notabene adalah para pelaku berbagai kejahatan itu, setelah selesai menjalani hukuman dan bebas justru kembali melakukan kejahatan yang lebih canggih lagi dari sebelumnya (residivisme/pengulangan perilaku yang melanggar hukum dengan tingkatan yang lebih berat dari yang pernah dilakukan sebelumnya). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang LP sebenarnya telah memberikan solusi terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif terhadap warga binaan sebagaimana yang diuraikan di atas dengan menggariskan hak-hak yang dimiliki warga binaan pemasyarakatan tanpa kecuali. Adapun hak-hak tersebut antara lain adalah: a. melakukan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya, b. mendapatkan perawatan, baik rohani maupun jasmani, c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran, d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, e. menyampaikan keluhan, f. mendapatkan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, g. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya, h. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), i. mendapatkan kesempatan berasimilasi, j. mendapatkan pembebasan bersyarat, k. mendapatkan cuti menjelang bebas, dan l. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan telah digariskannya hak-hak para warga binaan selama berada di dalam LP pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, berarti telah menginstruksikan dengan tegas kepada setiap petugas LP untuk wajib mematuhi, mentaati dan melaksanakan perintah undang-undang tersebut dengan seoptimal mungkin, agar salah satu tujuan dari penegakan hukum yakni dalam rangka "memanusiakan manusia" di dalam LP dapat tercapai.
Lalu mengapa bisa terjadi peristiwa pembakaran LP dan tindakan melarikan diri oleh/dari warga binaan seperti terjadi di LP Kelas IA Tanjung Gusta Medan dan LP Kelas IIA Labuhan Ruku Batubara Sumatera Utara yang begitu menggemparkan itu? Mari kita evaluasi secara lebih mendalam dan lebih "fair" substansi permasalahan yang memicu terjadinya kedua peristiwa memalukan tersebut. Matinya listrik dan ketiadaan air di LP Tanjung Gusta pada waktu bulan puasa Juli 2013 lalu, pemberian remisi dan pembebasan bersyarat yang dipandang tidak adil dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh warga binaan di LP Labuhan Ruku hanyalah satu dari multi faktor penyebab kekecewaan, kekesalan dan amarah para warga binaan yang telah terakumulasi dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya memicu terjadinya pembakaran, perlakuan brutal terhadap petugas LP dan tindakan melarikan diri warga binaan di kedua LP tersebut. Faktor lainnya yang menjadi pemicu adalah sikap dan perilaku para petugas LP terhadap warga binaan yang tidak mencerminkan sikap pembina terhadap yang dibina, pengebiran hak-hak asasi warga binaan sebagaimana telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang telah diuraikan di atas, perlakuan semena-mena dan cenderung tidak manusiawi, semuanya itu menjadi multi faktor yang menjadi pemicu peristiwa menggemparkan itu. Pernyataan Menteri Hukum dan HAM di depan pers yang menyebutkan penyebab peristiwa tersebut adalah karena kelebihan kapasitas penghuni LP adalah suatu alasan yang tidak fundamental. Berbicara tentang kelebihan kapasitas penghuni LP, hampir seluruh LP di Indonesia mengalaminya. Alasan yang dikemukakan Menteri Hukum dan HAM tersebut merupakan bentuk "pembelaan diri terselubung"dan "sikap tak mau disalahkan" atas kinerja diri dan jajarannya yang buruk. Introspeksi dan evaluasi ke dalam jajaran sendiri akan jauh lebih bermanfaat untuk memperbaiki kinerja demi penataan kembali citra LP yang sudah cukup lama mendapat cap buruk dari masyarakat, ketimbang harus membuat tameng untuk melindungi diri sendiri namun akan semakin memperburuk kinerja petugas dan Citra LP di mata masyarakat. Bukan tidak mungkin peristiwa di LP Tanjung Gusta dan LP Labuhan Ruku akan menjadi virus bagi warga binaan LP-LP lainnya untuk berbuat hal yang sama, bila kinerja petugas LP sebagai salah satu institusi penegak hukum dalam pembinaan warga binaan tidak segera dibenahi dan dipaksa untuk masuk kembali ke relnya yang benar sesuai perintah Undang-Undang dan peraturan-peraturan pelaksana terkait lainnya di bidang LP dan pembinaan warga binaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar