Sabtu, 31 Agustus 2013

SEANDAINYA TUAN AMANAH

Jika tuan paham esok atau lusa maut pasti datang menjemput, takkan amanah malah dimanipulasi, apalagi dikebiri dan dijadikan rekomendasi untuk mengkhianati ratusan juta anak negeri yang telah berkorban menjaga ibu pertiwi. Jika tuan sadar mengapa tahta harus diduduki, dokumen penting wajib selalu ditandatangani, rapat EKUIN dan Pembangunan harus dicatat dan diagendakan untuk dilaksanakan dengan baik dan benar serta untuk dijadikan bahan evaluasi sebagai tolok ukur keberhasilan, tak akan banyak pemulung, pengemis, anak-anak jalanan dan gelandangan yang berkeliaran di seantero negeri. Karena tujuan pembangunan berbiaya triliunan rupiah itu bukan menciptakan kemiskinan, tapi konkrit kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh anak negeri. Dimanakah kesejahteraan dan kemakmuran itu tuan sembunyikan, jika memang pembangunan itu tuan klaim berhasil. Tidak malukah tuan, tidak teririskah hati tuan melihat jutaan anak negeri masih tidur di rumah-rumah kardus dan di kolong-kolong jembatan, dan tak jarang dikejar-kejar para petugas yang hanya dibekali pentungan dan tidak pernah dinaungi dengan rasa welas asih. Padahal mereka juga lahir dari rahim yang sama dengan tuan, rahim ibu pertiwi. Gaya orasi tuan yang begitu menawan dan meyakinkan dengan kosa kata terstruktur indah dan intelektual, menggembar-gemborkan keberhasilan pembangunan yang tuan dan rezim tuan laksanakan, begitu merdu terdengar, namun pahit terasa dan ternyata kebanyakan hanya isapan jempol belaka.
Tuan, mari kita kaji satu persatu: Mengapa harga bawang, cabe, beras dan kedelai bisa dengan mudah mencapai langit? Bagaimana mungkin harga daging sapi yang sudah diimport agar menjadi murah, malah semakin melambung ke luar angkasa? Bukankah negeri ini subur, gemah ripah loh jinawi dan dikenal sebagai negerinya pak tani? Bila kami sudah tak bisa lagi makan daging sapi karena tak terjangkau lagi harganya, ya sudahlah, gak apa-apa tuan, kami pun tahu diri. Namun kalau tempe dan tahu pun tak bisa juga lagi kami cicipi, ini sudah keterlaluan tuan. Apakah kami sudah tidak berhak lagi menikmati secuilpun kenikmatan di tanah leluhur kami? Apakah hanya tuan dan kroni-kroni tuan yang berhak pesta pora menikmati milyaran bahkan triliunan rupiah yang keluar dari dompet ibu pertiwi, yang juga adalah ibu kami? Tuan biarkan kami makan nasi aking, tiwul, gaplek dan sejenisnya yang sebenarnya tak layak untuk dimakan.Tahukah tuan biaya pendidikan di negeri ini masih tetap tergantung di awang-awang sehingga sangat sulit dijangkau oleh mayoritas anak negeri? Tuan lihatkah dengan mata kepala tuan sendiri bahwa kaum marjinal di negeri ini selalu diperlakukan semena-mena di semua lini kehidupannya? Maut sudah jadi sahabat kental kaum terpinggirkan itu. Bila mereka sakit, dilempar kesana kemari, dibuat sejuta alasan untuk menolaknya, yang pada akhirnya bukannya sembuh malah mati. Mengerikan sekali. Bagaimana cara tuan menghitung jumlah kaum miskin di negeri ini, sehingga hanya menghasilkan angka jutaan orang yang berhak menerima BLSM? Padahal tuan sebenarnya tahu pasti jumlah kaum miskin di negeri ini mencapai angka puluhan juta orang. Kenapa harus diperkecil angka kaum miskin itu tuan? Supaya tuan dipandang berhasil mengentaskan kemiskinan ya? Maaf tuan, kami tidak bodoh, juga tidak bisa tuan bodohi. Kami juga tahu matematika tuan. Kami tak butuh omong kosong, yang kami lihat adalah kenyataan. Apa kabarnya Century tuan? Super power mana yang mampu menggelontorkan dananya hingga triliunan rupiah sehingga begitu mulus dan lancar? Aaaahhh.....hanya Tuhan yang tahu itu. Semoga suatu hari nanti kebenaran akan bersaksi yang sebenar-benarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Saya bermimpi seandainya tuan amanah di sisa waktu tuan menduduki kursi singgasana itu, mungkin seperseratus dari angan-angan saya terhadap keadaan negeri yang lebih baik dari sekarang ini akan terealisasikan. Aaaaaaahhhhh.....saya memang pemimpi besar tuan.......!

G R A T I F I K A S I

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi kata gratifikasi diberikan suatu pengertian baru. Berdasarkan Kamus Hukum, gratifikasi berasal dari bahasa Belanda yaitu Gratificatie yang berarti hadiah uang, atau pemberian uang, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah ditentukan. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Menurut pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount) , komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lain. gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Pasal 12C ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  menyebutkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 12B ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 menyebutkan hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi adalah pidana penjara seumur hidup atau hukuman penjara paling singkat 4 (empat) tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah :
1. pejabat negara pada lembaga tertinggi negara
2. pejabat negara pada lembaga tinggi negara, Menteri, Gubernur, Hakim
3. Pejabat negara yang lain yaitu, duta besar, wakil gubernur, bupati/walikota, komisaris, direksi dan
    pejabat struktural pada BUMN dan BUMD, pimpinan Bank Indonesia, pimpinan perguruan tinggi   negeri, pejabat eselon satu dan pejabat lain yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer, jaksa, penyidik, panitera pengadilan, pimpinan proyek dan bendaharawan proyek negara, pegawai negeri (sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001). Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, pegawai negeri meliputi: 1.pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian 2.pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUH Pidana 3.orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah 4.orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah 5.orang yang menerima gaji dari korporasi lain yang menpergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan, "Setiap orang yang menberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak seratus limapuluh juta rupiah".


Kamis, 29 Agustus 2013

TERMINASI DAN REPUDIASI DALAM HUKUM KONTRAK (PERJANJIAN)

Terminasi dalam suatu hukum kontrak (perjanjian) mempunyai pengertian yaitu suatu pemutusan/ pengakhiran dari suatu kontrak (perjanjian) yang telah disepakati dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya. Yang menjadi permasalahan adalah apakah pemutusan/pengakhiran kontrak (perjanjian) tersebut dinyatakan dengan tegas dan ditetapkan prosedur/cara-cara pengakhiran kontrak (perjanjian) itu dalam klausul kontrak (perjanjian) yang telah disepakati sebelumnya oleh para pihak yang membuatnya dengan mengingat Pasal 1266 KUH Perdata. Pasal 1266 KUH Perdata menyebutkan, "Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian, persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian". Sebelum dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak kepada hakim, terlebih dahulu harus dilakukan somatie (peringatan) tertulis kepada pihak yang tidak memenuhi prestasinya. Somatie (peringatan) tertulis tersebut wajib dilakukan oleh pihak yang menuntut pemenuhan prestasi dari pihak yang tidak memenuhi prestasi (wanprestasi) sebanyak tiga kali. Bila tidak diindahkan setelah tiga kali somatie (peringatan) tertulis disampaikan, maka pihak yang menuntut pemenuhan prestasi tersebut dapat memintakan pembatalan kontrak (perjanjian) kepada hakim melalui sidang pengadilan sesuai prosedur hukum yang berlaku di bidang hukum acara perdata. Hal ini sesuai dengan prinsip KUH Perdata yaitu ingebrekestelling atau perbuatan lalai dari pihak yang berutang dalam memenuhi prestasinya sesuai Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa, "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya", sedangkan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata menyebutkan,"Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu". Bila dikaji Pasal 1338 ayat (2) tersebut di atas maka pada prinsipnya suatu kontrak (perjanjian) kalau sudah disepakati dan ditandatangani oleh para pihak, tidak dapat ditarik kembali/diputuskan/dibatalkan, kecuali bila syarat tertentu terpenuhi yaitu kontrak (perjanjian) tersebut dibatalkan oleh semua pihak yang terlibat dalam kontrak (perjanjian) itu berdasarkan alasan yang diatur oleh undang-undang. Dalam praktek pelaksanaan kontrak (perjanjian), sering ada klausul yang dicantumkan dalam kontrak (perjanjian) yang mengenyampingkan Pasal 1266 KUH Perdata, yang artinya kontrak (perjanjian) dapat diputuskan/diakhiri/dibatalkan sendiri oleh salah satu pihak tanpa campur tangan pengadilan (exeption non adimpleti contractus). Jika klausul syarat batal tidak dicantumkan dalam kontrak (perjanjian), maka hakim leluasa memutuskan dan tidak boleh lebih dari jangka waktu 1 (satu) bulan. Akibat hukum dari terminasi kontrak (perjanjian) adalah: 1. timbul kewajiban untuk melakukan restorasi-pengembalian manfaat dari pihak yang dirugikan, 2. berlaku secara ex tunc atau ex nunc (apakah kontrak (perjanjian) dikembalikan kepada keadaan semula, yaitu mempunyai efek retrospektif, kontrak (perjanjian dianggap tidak ada, atau kontrak (perjanjian) hanya membebaskan para pihak untuk melaksanakan kewajibannya untuk masa setelah wanprestasi, sedangkan apa yang dilakukan sebelum wanprestasi tetap dianggap sah). Disebut dengan istilah efek ex nunc yakni mempunyai efek yang prospektif. Berbagai negara melakukan hal yang berbeda. 3. Akibat terhadap hak untuk mendapatkan ganti rugi-pihak yang dirugikan karena wanprestasi dari pihak lain, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat memutuskan kontrak (perjanjian) tersebut.
Repudiasi mengandung arti manifestasi atau pernyataan mengenai ketidaksediaan atau ketidakmampuan untuk melaksanakan kontrak (perjanjian) yang sebelumnya telah disepakati dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya, dimana pernyataan tersebut disampaikan oleh pihak yang bersangkutan kepada pihak secara tertulis sebelum tiba waktu melaksanakan kontrak (perjanjian) tersebut. Hal ini dikenal dengan istilah Repudiasi Anticipatory. Apabila repudiasi tersebut disampaikan setelah kontrak (perjanjian) dilaksanakan disebut dengan istilah Repudiasi biasa (ordinary). Konsekuensi yuridis dari repudiasi adalah: 1. dapat menunda atau bahkan membebaskan pihak lain dari kewajibannya melaksanakan prestasi dalam kontrak (perjanjian) tersebut 2. memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi, walaupun pihak yang melakukan repudiasi belum jatuh tempo untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan kontrak (perjanjian). Perwujudan tindakan repudiasi dilakukan dengan cara: 1. dinyatakan dengan tegas 2. disimpulkan dari fakta bahwa salah satu pihak telah tidak akan melakukan kewajibannya dalam kontrak (perjanjian). Repudiasi masih dapat dibatalkan oleh pihak yang menyampaikannya sampai dengan batas waktu, 1. pihak yang dirugikan telah menuntut ganti rugi ke pengadilan 2. Pihak yang dirugikan telah mengubah posisinya secara signifikan karena adanya kontrak (perjanjian) tersebut 3,. Pihak yang dirugikan telah menyatakan bahwa dia menganggap bahwa repudiasi tersebut telah final.

Rabu, 28 Agustus 2013

AMERIKA SERIKAT (AS) AKAN JUAL HELIKOPTER TEMPUR CANGGIH APACHE KE INDONESIA


Apache AH-64D
Apache AH-64DAmerika Serikat (AS) mengumumkan rencana penjualan 8 (delapan) unit helikopter tempur canggih APACHE type AH 64D Block III Longbow berikut suku cadang, pelatihan pilot dan dukungan logistik ke Indonesia senilai 1,43 Milyar Dollar AS. Kepastian penjualan tersebut disampaikan Menteri Pertahanan AS, Chuck Hagel saat kunjungannya ke Jakarta pada hari Senin, 26 Agustus 2013 yang lalu. Kapan waktu pastinya pengiriman Helikopter buatan Boeing tersebut ke Indonesia, belum dapat ditentukan. Ini adalah penjualan Apache pertama kali oleh AS ke Indonesia, sejak pemberlakuan sanksi embargo peralatan tempur yang dijatuhkan AS kepada Indonesia Tahun 1998 hingga dicabut pada Tahun 2005 lalu, dimana ketika itu AS menuding Indonesia melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Spesifikasi helikopter tempur APACHE ini adalah digerakkan oleh dua mesin General Electric T700 Turbo Shaft dengan empat baling-baling utama dan empat baling baling di ekor, tiga roda pendaratan, dioperasikan oleh dua orang kru (pilot dan co pilot), dilengkapi teknologi Global Positioning System (GPS) dan Night Vision (penglihatan malam), dapat pula mengangkut berbagai macam senjata seperti misil anti tank AGM 114, rocket hydra 70, dan AM 92 Stinger air to air misil untuk bertahan. Persenjataan yang disandang adalah: Chain gun M.230 30 mm, yang terletak pada roda pendaratan utama, juga dilengkapi dengan mixture AGM-114 Hellfire dan Hydra 70 rocket pods.

ATIQAH HASIHOLAN DAN MARIO DEWANTO RESMI MENIKAH DI PULAU KELOR

Foto Akad Nikah Rio Dewanto-Atiqah Hasiholan

Sabtu 24 Agustus 2013 pukul 17.30 WIB prosesi pengucapan ijab kabul pernikahan Mario Dewanto dan Atiqah Hasiholan dilaksanakan di Pulau Kelor Kepulauan Seribu, sebuah pulau yang tidak berpenghuni dan memiliki Menara Martella. Rio panggilan akrab Mario Dewanto sempat terlihat gugup dan mengulang pengucapan ijab kabul tersebut karena adanya kesalahan redaksi kata yang sudah dihapalnya dengan teks yang diberikan oleh penghulu pernikahan. Akhirnya setelah dilakukan pengulangan ijab kabul oleh Rio, para saksi pernikahan langsung menyatakan sah, maka resmilah pasangan Mario Dewanto dan Atiqah Hasiholan menjadi suami-isteri. Prosesi pernikahan tersebut berlangsung sederhana, dengan mas kawin emas seberat 8,2 gram dan seperangkat peralatan sholat. Dalam prosesi pernikahan yang hanya dihadiri sekitar 300 undangan tersebut, terlihat hadir pula sejumlah selebriti Indonesia seperti Widi, Cintia lamusu, Surya Saputra, Nola, Dwi Sasono, Marcelino Lefrandt dan juga Bupati Kepulauan Seribu, Dr. H. Asep Syarifudin. Atiqah Hasiholan adalah puteri dari Ratna Sarumpaet, budayawan, aktivis pergerakan organisasi sosial, pendiri Ratna Sarumpaet Crisis Centre, lahir di Tarutung, Tapanuli Utara, 16 Juli 1949, dari orang tua, ayah, Saladin Sarumpaet dan ibu, Julia Hutabarat, anak kedua dari sembilan bersaudara, menikah dengan Achmad Fahmi Alhady, pengusaha berdarah Arab-Indonesia dan menjadi Muslim sejak pernikahannya. Pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik dan juga Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, sebelum akhirnya memilih kesenian (teater) sebagai jalan hidupnya.

     PULAU KELOR KEPULAUAN SERIBU




Minggu, 25 Agustus 2013

KEWAJIBAN DEBITUR MENGASURANSIKAN BARANG AGUNAN DALAM SUATU PERJANJIAN KREDIT PADA BANK

Perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan (hak atas tanah) maupun Fidusia (barang bergerak)  pada bank harus melalui beberapa tahapan, yaitu tahap permohonan kredit, analisa kredit, keputusan kredit, perjanjian kredit serta pengikatan agunan dengan menggunaan Hak Tanggungan maupun Fidusia. Pada perkembangannya bank mewajibkan debitur untuk mengasuransikan barang agunan, agar dapat mengalihkan resiko apabila terjadi penyusutan/penurunan nilai barang agunan akibat terjadinya kerusakan, atau musnah yang disebabkan musibah atau malapetaka seperti kebakaran, banjir bandang, gempa, tsunami dan peristiwa alam lainnya yang berada di luar kekuasaan manusia (force majeure/overmacht). Kewajiban mengasuransikan barang agunan tertulis dalam perjanjian kredit yang disepakati bersama oleh debitur (penerima kredit/peminjam) dan Bank sebagai kreditur (pemberi kredit/pemberi pinjaman). Perjanjian asuransi barang agunan debitur dalam suatu perjanjian kredit pada bank dilakukan bersamaan dengan pengikatan atau penandatanganan perjanjian kredit yang telah disetujui oleh Bank dan disepakati nilai kreditnya oleh kedua belah pihak. Pihak Bank sebagai kreditur, menyerahkan sepenuhnya kepada debitur untuk memilih perusahaan asuransi yang akan digunakan jasanya dalam mengasuransikan barang agunan tersebut. Namun sering pula pihak bank sebagai kreditur yang menentukan perusahaan asuransi mana yang dapat digunakan jasanya dalam mengasuransikan barang agunan milik debitur tersebut. Pada umumnya bila pihak bank yang menentukan perusahaan asuransi yang digunakan jasanya dalam mengasuransikan barang agunan milik debitur, maka perusahaan asuransi yang dipilih oleh bank yang bersangkutan adalah perusahaan asuransi yang telah memiliki perjanjian kerjasama dengan bank tersebut atau merupakan group/anak perusahaan dari bank tersebut. Dalam penandatanganan perjanjian asuransi antara debitur dengan perusahaan asuransi yang dipilih baik oleh debitur sendiri maupun oleh pihak bank, debitur disarankan untuk membaca secara keseluruhan klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian asuransi tersebut sebelum ditandatangani. Hal ini dimaksudkan agar debitur mengetahui hak dan kewajibannya secara menyeluruh dan jelas agar pelaksanaan asuransi tersebut dapat berjalan dengan baik dan tidak merugikan hak-hak debitur. Disamping itu debitur perlu pula mempertanyakan hak-hak lainnya disamping hak-hak yang terdapat dan sudah diatur dalam perjanjian asuransi tersebut. Misalnya hak unruk memperoleh potongan (discount) pembayaran premi asuransi sesuai jangka waktu pembayaran yang telah disepakati. Pada umumnya potongan premi asuransi tersebut tidak dimuat/tercantum dalam perjanjian asuransi, sehingga bila debitur tidak bertanya secara terperinci mengenai hal tersebut, pihak perusahaan asuransi tersebut juga tidak akan memberitahukannya kepada debitur. Bila hal ini terjadi maka debitur menjadi pihak yang dirugikan haknya, karena tidak memperoleh potongan pembayaran premi asuransi yang seharusnya menjadi haknya tersebut.

Kamis, 22 Agustus 2013

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Semakin banyaknya aparat/pejabat pemerintah maupun petinggi partai politik di negeri ini yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga kuat melakukan praktek korupsi, mengindikasikan bahwa upaya pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan yang didambakan.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diharapkan mampu meminimalisir praktek korupsi di Indonesia, termyata tak mampu membuat para koruptor ciut nyalinya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, meski sudah menunjukkan kinerja yang cukup baik sejak kelahirannya hingga sekarang ini namun belum bisa dinilai berhasil sepenuhnya dalam menekan kwantitas kasus korupsi ke angka terendah. Bahkan pada Tahun 2013 ini aksi para koruptor dalam menggerus uang negara semakin "berkualitas" dan "fantastis" dari segi jumlahnya. Lihat saja penangkapan Rudi Rubiandini, mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sekarang menjabat Kepala SKK Migas tertangkap tangan oleh KPK dengan jumlah uang suap sebesar US 700.000 Dollar atau setara dengan tujuh miliar rupiah. Ini merupakan prestasi terbesar KPK dari segi jumlah uang dalam penangkapan koruptor. Bila kita kaji lebih mendalam dari segi peraturan perundang-undangan yang berusaha memberantas tindak pidana korupsi, Indonesia termasuk negara yang paling banyak menerbitkan perundang-undangan anti korupsi. Selain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juga ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih Dan bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan pemberantasan Korupsi, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi dan peraturan terkait lainnya. Seharusnya dengan peraturan perundang-undangan anti korupsi yang sedemikian banyak itu Indonesia sudah terbebas dari korupsi atau paling tidak angka kejahatan korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin. Peraturan yang sedemikian banyak, dan juga dibentuknya komisi khusus seperti KPK akan sia-sia bila aplikasi sanksi hukum dan sanksi sosial terhadap para koruptor tersebut masih ringan. Para Koruptor yang tertangkap, dalam proses hukumnya ditahan di sel KPK yang tergolong mewah untuk seorang pelaku kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sel tahanan KPK untuk para koruptor dilengkapi dengan tempat tidur, lemari pakaian, kamar mandi dengan ruangan yang cukup lega. Hal ini berbeda dengan tempat penahanan bagi para pencuri/maling yang ditahan di rumah tahanan negara, sel polisi, sel kejaksaan atau sel pengadilan. Padahal antara  Koruptor dan pencuri/maling tidak ada bedanya. Bahkan bila mau jujur koruptor lebih jahat dari maling/pencuri. Koruptor adalah maling/pencuri uang negara dalam jumlah ratusan juta bahkan miliaran rupiah, yang merugikan masyarakat banyak, sedangkan maling/pencuri mengambil barang orang lain dengan melawan hukum dalam jumlah relatif kecil dan menimbulkan kerugian pada orang lain dengan jumlah yang relatif kecil pula. Sepatutnya perlakuan hukum terhadap para koruptor dan para maling/pencuri adalah sama. Bahkan seharusnya tahanan bagi para koruptor dibuat sedemikian rupa sehingga membuatnya lebih tersiksa dari para maling/pencuri. Tahanan bagi para koruptor seharusnya dibuat disuatu tempat/pulau terpencil seperti halnya di Nusakambangan. Penjatuhan sanksi hukum oleh hakim di pengadilan Tindak pidana korupsi (Tipikor) juga dinilai masih cukup ringan, bahkan ada terdakwa koruptor yang dibebaskan dari hukuman dengan pertimbangan hukum tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Peraturan perundang-undangan anti korupsi yang berlaku sekarang ini seharusnya direvisi menjadi lebih berat lagi hukumannya. Hukuman mati bagi para koruptor sudah saatnya diberlakukan, dengan dasar pertimbangan hukum dan persyaratan tertentu. Kenapa Indonesia tidak mencontoh Negara Cina, yang berhasil menurunkan angka kejahatan korupsi secara signifikan dengan penerapan hukuman mati. Bagi para elite kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk melahirkan peraturan perundang-undangan yang menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, namun menolak untuk menerapkannya, dapat dikatakan setengah hati dan tidak pro kepada pemberantasan korupsi di Negeri ini. Bila sikap dan perilaku para penegak hukum di negeri ini dalam menangani kasus korupsi masih lunak dan terkesan kompromi, maka tindak pidana korupsi tidak akan pernah bisa diberantas. Seharusnya falsafah para penegak hukum Indonesia dalam menangani kasius korupsi adalah "Tidak ada kompromi dengan Koruptor" seperti halnya Amerika Serikat yang juga menerapkan prinsip "Tidak ada kompromi dengan Teroris". Rakyat Indonesia sudah cukup lama teraniaya oleh para koruptor, dan sudah saatnya sekarang koruptor merasakan hukuman yang berat terhadap kejahatan luar biasa yang dilakukannya.

Minggu, 18 Agustus 2013

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN INDONESIA (2)


Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang     Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan : a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan, b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain  selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain, e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri, f. antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 20 ayat (1) PP 9 1975 menyebutkan, "Gugatan perceraian diajukan suami atau isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat". Pasal 20 ayat (2) PP 9 1975 menyebutkan, "Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat". Pasal 20 ayat (3) PP 9 1975 menyebutkan, "Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat. Ketua pengadilan menyampaikan permohonan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.Gugatan perceraian karena alasan yang disebutkan dlm Pasal 19 huruf b di atas diajukan ke pengadilan di tempat kediaman penggugat. Gugatan tersebut dapat diajukan setelah lampau dua tahun terhitung sejak tanggal tergugat meninggalkan rumah. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21 ayat (1), (2) dan (3) PP Nomor 9 Tahun 1975). Gugatan perceraian karena alasan yang tersebut pada Pasal 19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 di atas diajukan kepada pengadilan di empat kediaman tergugat (Pasal 22 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975). Gugatan perceraian karena alasan sebagaimana tersebut pada Pasal 19 huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975, untuk mendapatkan putusan perceraian sebgai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara yang disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itutelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 23 PP Nomor 9 Tahun 1975). Pasal 25 PP Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan, "Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan, "Masa tunggu bagi seorang janda adalah: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tigapuluh) hari, b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari, c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Pasal 39 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan, "Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. Pasal 39 ayat (3) PP Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan, "Bagi perkawinan yang putus karena perceraian waktu tunggu dihitung sejak keputusan perceraian oleh pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan perkawinan yang putus karena kematian, waktu tunggu dihitung sejak tanggal kematian suami.