Notaris
sebagai Pejabat Umum, sekaligus pula sebagai profesi, posisinya sangat
penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat.
Notaris seyogianya berada dalam ranah pencegahan (preventif)
terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai
alat bukti yang paling sempurna di pengadilan. Tidak dapat dibayangkan
bila Notaris justru menjadi sumber masalah bagi hukum akibat akta
otentik yang dibuatnya dipertanyakan kredibilitasnya oleh masyarakat.
Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004,
yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2004 sebagaimana
dituangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004
Nomor 117, yang terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal tersebut semakin
mempertegas posisi penting Notaris sebagai Pejabat Umum yang memberikan
kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya. Landasan filosofis
lahirnya UUJN Nomor 30 Tahun 2004, adalah terwujudnya jaminan kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang beerintikan kebenaran dan
keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat penggguna jasanya. Akta otentik pada
hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan
para pihak kepada Notaris, namun Notaris mempunyai kewajiban untuk
memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris, sungguh-sunggguh
telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara
membacakannya sehinggga menjadi jelas isi akta Notaris serta memberikan
akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan
perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.
Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara independen (tidak
memihak) dan bebas (unpartiality and Independency).
Notaris merupakan Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik
sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi Pejabat
Umum lainnya. Akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan bukti
otentik, bukti paling sempurna, dengan segala akibatnya. Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), memberikan penegasan
kepada Notaris sebagai Pejabat Umum. Pasal 1868 KUH Perdata tersebut
menyatakan bahwa, "Suatu akta otentik, ialah suatu akta yang di dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat
umum yang berwenang di tempat dimana akta itu dibuat". Namun demikian
Notaris bukanlah satu-satunya Pejabat Umum yang ditugasi oleh
undang-undang dalam membuat akta otentik. Ada Pejabat Umum lainnya yang
ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik tertentu seperti,
Pejabat Kantor Catatan Sipil dalam membuat akta perkawinan, akta
kelahiran, akta kematian, Pejabat Kantor Lelang membuat akta lelang,
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta otentik di bidang
pertanahan, Kepala Kantor Urusan Agama dalam membuat akta nikah, talak
dan rujuk dan lain sebagainya. Namun secara umum dapat dikatakan Notaris
adalah satu-satunya Pejabat Umum yang memiliki kewenangan berdasarkan
undang-undang yang cukup besar dalam membuat hampir seluruh akta
otentik. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris harus dapat bersikap
profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa
melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
sekaligus menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris sebagai rambu yang
harus dipatuhi.
Di dalam
Pasal 16 hurup a UUJN Nomor 30 Tahun 2004, Notaris diwajibkan bertindak
jujur, seksama, mandiri tidak berpihak dan menjaga kepentingan para
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Di samping itu Notaris sebagai
Pejabat Umum harus peka, tanggap, mempunyai ketajaman berfikir dan
mampu memberikan analisis yang tepat terhadap setiap fenomena hukum dan
fenomena sosial yang muncul, sehingga dengan begitu akan menumbuhkan
sikap keberanian dalam mengambil tindakan yang tepat. Keberanian yang
dimaksud adalah keberanian untuk melakukan perbuatan hukum yang benar
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui akta yang
dibuatnya dan menolak dengan tegas pembuatan akta yang bertentangan
dengan hukum, moral dan etika. Kepercayaan masyarakat terhadap Notaris
adalah juga merupakan kepercayaan masyarakat terhadap akta yang
dibuatnya. Itulah sebabnya mengapa jabatan Notaris sering pula disebut
dengan jabatan kepercayaan. Kepercayaan pemerintah sebagai instansi yang
mengangkat dan memberhentikan Notaris (dalam hal ini adalah Menteri
Hukum dan HAM), sekaligus pula kepercayaan masyarakat sebagai pengguna
jasa Notaris.
Pasal 266
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa,
"Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai
suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan
oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk
menyuruh orang lain mempergunakannya, seolah-olah keterangannya itu
sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian".
Keterangan palsu yang tercantum dalam akta Notaris tersebut membutuhkan
penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut oleh pihak yang berwenang
(Polri), apakah bersumber dari para penghadap yang memberikan keterangan
tidak lengkap/tidak jujur, atau memberikan dokumen palsu kepada Notaris
yang mengakibatkan lahirnya akta yang cacat hukum. Apabila kesalahan
yang terjadi pada pembuatan akta otentik tersebut berasal dari para
penghadap dengan memberikan keterangan yang tidak lengkap/tidak jujur
dan memberikan dokumen palsu kepada Notaris, maka para penghadaplah yang
seharusnya dikenakan tuntutan pidana oleh pihak lain yang merasa
dirugikan dengan terbitnya akta yang mengandung cacat hukum tersebut.
Dengan catatan Notaris yang menerbitkan akta yang mengandung cacat hukum
tersebut tidak terlibat sama sekali dalam memasukkan keterangan palsu,
maka secara hukum Notaris yang bersangkutan terlepas dari jerat hukum
Pasal 266 ayat (1) KUHP. Namun bila ternyata terbukti dalam penyelidikan
dan penyidikan pihak yang berwenang (Polri), Notaris tersebut terlibat
konspirasi dengan para penghadap dalam memasukkan keterangan palsu ke
dalam akta otentik, maka Notaris tersebut dapat dijerat dengan Pasal 266
ayat (1) KUHP tersebut.
Prosedur pemanggilan notaris oleh pihak berwenang (Penyidik Polri),
dalam status sebagai saksi maupun tersangka wajib memenuhi ketentuan
yang tercantum dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN Nomor 30 Tahun 2004, yaitu
harus memperoleh ijin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Pengawas
Daerah (MPD) Notaris. Tanpa ijin tertulis dari MPD Notaris, Penyidik
Polri tidak dapat melakukan pemanggilan terhadap Notaris tersebut secara
langsung.
NB : Pasal 66 ayat (1) UUJN nomor 30 Tahun 2004 yang mewajibkan pihak penyidik bila akan memanggil notaris baik sebagai saksi maupun tersangka dalam dugaan tindak pidana berkaitan dengan akta yang dibuatnya wajib memperleh ijin dari Majelis Pengawas Daerah (MPD), dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Keputusan MK nomor 49/PUU-X/2013 tanggal 28 Mei 2013. Dengan demikian sejak tanggal keputusan MK tersebut tidak dibutuhkan lagi ijin dari MPD bila penyidik akan memanggil Notaris baik sebagai saksi maupun tersangka berkaitan dengan dugaan tindak pidana terhadap akta yang dibuatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar