Kamis, 22 Agustus 2013

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Semakin banyaknya aparat/pejabat pemerintah maupun petinggi partai politik di negeri ini yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga kuat melakukan praktek korupsi, mengindikasikan bahwa upaya pemberantasan korupsi masih jauh dari harapan yang didambakan.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diharapkan mampu meminimalisir praktek korupsi di Indonesia, termyata tak mampu membuat para koruptor ciut nyalinya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, meski sudah menunjukkan kinerja yang cukup baik sejak kelahirannya hingga sekarang ini namun belum bisa dinilai berhasil sepenuhnya dalam menekan kwantitas kasus korupsi ke angka terendah. Bahkan pada Tahun 2013 ini aksi para koruptor dalam menggerus uang negara semakin "berkualitas" dan "fantastis" dari segi jumlahnya. Lihat saja penangkapan Rudi Rubiandini, mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sekarang menjabat Kepala SKK Migas tertangkap tangan oleh KPK dengan jumlah uang suap sebesar US 700.000 Dollar atau setara dengan tujuh miliar rupiah. Ini merupakan prestasi terbesar KPK dari segi jumlah uang dalam penangkapan koruptor. Bila kita kaji lebih mendalam dari segi peraturan perundang-undangan yang berusaha memberantas tindak pidana korupsi, Indonesia termasuk negara yang paling banyak menerbitkan perundang-undangan anti korupsi. Selain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juga ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih Dan bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan pemberantasan Korupsi, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi dan peraturan terkait lainnya. Seharusnya dengan peraturan perundang-undangan anti korupsi yang sedemikian banyak itu Indonesia sudah terbebas dari korupsi atau paling tidak angka kejahatan korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin. Peraturan yang sedemikian banyak, dan juga dibentuknya komisi khusus seperti KPK akan sia-sia bila aplikasi sanksi hukum dan sanksi sosial terhadap para koruptor tersebut masih ringan. Para Koruptor yang tertangkap, dalam proses hukumnya ditahan di sel KPK yang tergolong mewah untuk seorang pelaku kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sel tahanan KPK untuk para koruptor dilengkapi dengan tempat tidur, lemari pakaian, kamar mandi dengan ruangan yang cukup lega. Hal ini berbeda dengan tempat penahanan bagi para pencuri/maling yang ditahan di rumah tahanan negara, sel polisi, sel kejaksaan atau sel pengadilan. Padahal antara  Koruptor dan pencuri/maling tidak ada bedanya. Bahkan bila mau jujur koruptor lebih jahat dari maling/pencuri. Koruptor adalah maling/pencuri uang negara dalam jumlah ratusan juta bahkan miliaran rupiah, yang merugikan masyarakat banyak, sedangkan maling/pencuri mengambil barang orang lain dengan melawan hukum dalam jumlah relatif kecil dan menimbulkan kerugian pada orang lain dengan jumlah yang relatif kecil pula. Sepatutnya perlakuan hukum terhadap para koruptor dan para maling/pencuri adalah sama. Bahkan seharusnya tahanan bagi para koruptor dibuat sedemikian rupa sehingga membuatnya lebih tersiksa dari para maling/pencuri. Tahanan bagi para koruptor seharusnya dibuat disuatu tempat/pulau terpencil seperti halnya di Nusakambangan. Penjatuhan sanksi hukum oleh hakim di pengadilan Tindak pidana korupsi (Tipikor) juga dinilai masih cukup ringan, bahkan ada terdakwa koruptor yang dibebaskan dari hukuman dengan pertimbangan hukum tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Peraturan perundang-undangan anti korupsi yang berlaku sekarang ini seharusnya direvisi menjadi lebih berat lagi hukumannya. Hukuman mati bagi para koruptor sudah saatnya diberlakukan, dengan dasar pertimbangan hukum dan persyaratan tertentu. Kenapa Indonesia tidak mencontoh Negara Cina, yang berhasil menurunkan angka kejahatan korupsi secara signifikan dengan penerapan hukuman mati. Bagi para elite kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk melahirkan peraturan perundang-undangan yang menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, namun menolak untuk menerapkannya, dapat dikatakan setengah hati dan tidak pro kepada pemberantasan korupsi di Negeri ini. Bila sikap dan perilaku para penegak hukum di negeri ini dalam menangani kasus korupsi masih lunak dan terkesan kompromi, maka tindak pidana korupsi tidak akan pernah bisa diberantas. Seharusnya falsafah para penegak hukum Indonesia dalam menangani kasius korupsi adalah "Tidak ada kompromi dengan Koruptor" seperti halnya Amerika Serikat yang juga menerapkan prinsip "Tidak ada kompromi dengan Teroris". Rakyat Indonesia sudah cukup lama teraniaya oleh para koruptor, dan sudah saatnya sekarang koruptor merasakan hukuman yang berat terhadap kejahatan luar biasa yang dilakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar