Jumat, 13 September 2013

MENYOAL PENEREPAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK PADA KASUS KECELAKAAN MAUT YANG DIALAMI ABDUL QODIR JAELANI ALIAS DUL (ANAK AHMAD DHANI)

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak murni bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum yang seluas-luasnya dan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-hak bagi anak sebagai amanah dan karunia Tuhan yang maha Esa, sebagai tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, dimana dalam diri anak tersebut melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, agar setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, berakhlak mulia dan hidup sejahtera. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tersebut, didefinisikan bahwa, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa, "Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan, "Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara".
Peristiwa tabrakan maut di jalan tol jagorawi yang dialami oeh Abdul Qodir Jaelani (AQJ) alias Dul (13 Tahun), anak musisi terkenal Ahmad Dani dan penyanyi Maya Estianty, yang mengakibatkan korban 7 (tujuh) orang meninggal dunia, dan belasan lainnya luka-luka, akhirnya menempatkan Dul sebagai tersangka. Pihak penyidik (polisi) menemukan fakta-fakta di lapangan yang menjadikan Dul ditetapkan sebagai tersangka, diantaranya adalah, masih di bawah umur, tidak memiliki SIM, mengemudikan kendaraannya (mobil) dengan kecepatan sangat tinggi dan karena kelalaiannya berkendara menjadi penyebab terjadinya kecelakaan maut tersebut. Belakangan muncul pendapat untuk menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak agar dapat menjerat Ahmad Dani sebagai orang tua Dul sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dan bisa dijadikan tersangka karena kelalaian dalam mengawasi Dul. Dalam ranah hukum pidana dikenal asas tiada hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan, "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada". Asas ini dikenal pula dengan istilah "Nullum delictum nulla peona sine praevea lege peonalli" Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak memuat satu pasal pun tentang sanksi pidana terhadap kelalaian orang tua mengawasi anaknya yang masih di bawah umur, mengendarai kendaraan bermotor (motor/mobil). Bentuk pertanggungjawaban orang tua terhadap anak yang masih di bawah umur adalah pertanggung jawaban secara perdata. Pertanggung jawaban orang tua/wali  terhadap anak yang masih di bawah umur dan menjadi tanggungannya adalah sebagaimana termuat dalam Pasal 1367 Kitab undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyebutkan, "Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri, tapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali. Majikan-majikan  dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya. Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini  berada di bawah pengawasan mereka".
Dalam peristiwa kecelakaan maut yang dialami dan disebabkan oleh Dul yang masih di bawah umur dan masih menjadi tanggungan Ahmad Dani (tinggal bersama Ahmad Dani), maka selaku orang tua, Ahmad Dani dapat dituntut secara perdata dalam hal penggantian rugi atas peristiwa kecelakaan maut tersebut oleh korban/ahli warisnya dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan. Sedangkan bagi Dul yang telah ditetapkan sebagai tersangka karena kesalahannya (schuld), dalam hal ini adalah lalai/alpa (culpa), sehingga menyebabkan meninggal/luka-lukanya orang lain, dapat dikenakan sanksi pidana. Namun pertimbangan usia Dul yang masih di bawah umur kemungkinan akan dijadikan dasar pertimbangan berat-ringannya dalam hal penjatuhan sanksi pidana tersebut.
"Pasal 45 KUHP mengatur mengenai penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa. Belum Dewasa menurut KUHP adalah seorang yang belum berumur 16 (enam belas) tahun pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya tanpa pidana apapun. Atau hakim dapat memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran sebagaimana termuat dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536 dan 540 KUHP, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah"." Pasal 47 ayat (1) KUHP menyebutkan, "Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga".  Selanjutnya pasal 47 ayat (2) menyebutkan, "Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 47 ayat (3) menyebutkan, "Pidana tambahan dalam Pasal 10, butir b, nomor 1 dan 3  KUHP tidak dapat diterapkan". Pidana tambahan yang dimaksud adalah pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim tidak dapat dijatuhkan oleh hakim. Berdasarkan KUHP Dul dapat saja djerat dengan Pasal 359 dan Pasal 360 ayat (1) KUHP (karena kesalahan/kealpaannya mengakibatkan mati/luka beratnya orang lain), dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara. Namun Dul juga dpat dijerat dengan Pasal 310 ayat (3)  dan ayat (4). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,yang pada intinya menyebutkan,(karena kelalaiannya mengemudikan kendaraan bermotor mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan membuat luka berat/matinya orang lain), dengan ancaman hukuman maksimal 6 (enam) tahun penjara. Berhubung karena ancaman hukuman pidana yang terdapat dalam UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan lebih berat ketimbang ancaman hukuman pidana yang terdapat dalam KUHP, kemungkinan besar Dul akan dijerat dengan Pasal 310 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Hal ini sesuai dengan asas hukum Lex Specialist Derogat Lex Generali (Hukum khusus mengalahkan hukum umum).
Namun pertimbangan-pertimbangan lain dapat juga menjadi faktor yang meringankan sanksi pidana yang dijatuhkan, diantaranya adalah faktor usia yang masih di bawah umur dan faktor upaya damai Ahmad Dani yang telah melakukan pendekatan dan menyatakan pertanggung jawabannya terhadap seluruh keluarga korban (Restorative Justice). Restorative Justice memang tidak menggugurkan tuntutan hukum (pidana), namun sedikit banyak akan turut menjadi faktor pertimbangan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap Dul nantinya.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyebutkan, "Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasehat Hukum serta Petugas lainnya dalam sidang anak, tidak memakai toga atau pakaian dinas". Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 menyebutkan, "Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup". Sedangkan Pasal 8 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tertentu dan dipandang perlu pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, dapat dilakukan dalam sidang terbuka". Pasal 8 ayat (3) menyebutkan, "Dalam sidang yang dilakukan secara tertutup, hanya dapat dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua, wali, atau orang tua asuh, penasehat hukum dan pembimbing kemasyarakatan. Pasal 8 ayat (4) menyebutkan, "Selain mereka yang tersebut dalam Pasal 8 ayat (3) di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) tersebut di atas. Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan, "Putusan Pengadilan dalam memeriksa perkara anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) tersebut di atas diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Pasal 11 ayat (1) dan (2) menyebutkan tentang formasi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara anak pada tingkat pertama, yaitu dengan formasi hakim tunggal atau hakim majelis bila dipandang perlu dengan penetapan ketua Pengadilan Negeri. Demikian pula halnya dalam pemeriksaan perkara anak pada tingkat banding dan kasasi diterapkan pola yang sama dengan pemeriksaan perkara anak pada tingkat pertama. Dengan penetapan Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah Agung. Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak menyebutkan, "Sanksi yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan  kepada anak nakal ialah pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan". Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyebutkan, "Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a. mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyebutkan, "Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim". Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang pengadilan Anak menyebutkan, "Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a (anak yang melakukan tindak pidana) paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman  pidana penjara bagi orang dewasa". Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan, "Apabila anak nakal  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, (anak yang melakukan tindak pidana), melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kepada anak nakal sebagaimana dimaksud di atas hakim dapat juga menjatuhkan pidana bersyarat apabila pidana yang dijatuhkan paling lama dua tahun. (mengenai ketentuan pidana bersyarat, diatur lebih lanjut dalam Pasal 29 ayat (1) s.d ayat (9). Disamping itu hakim juga dapat menjatuhkan pidana pengawasan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a (anak yang melakukan tindak pidana), paling singkat tiga bulan dan paling lama dua tahun. Apabila anak yang melakukan tindak pidana tersebut dijatuhkan Pidana Pengawasan, maka anak tersebut ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. Anak Nakal yang oleh hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar